Koalisi masyarakat sipil yang dikenal sebagai SIKAP telah mengajukan gugatan terhadap beberapa pasal dalam UU 27 Tahun 2022 mengenai Perlindungan Data Pribadi. Tindakan ini mencuat karena adanya kekhawatiran akan risiko kriminalisasi yang muncul dari aturan tersebut, terutama terkait larangan pengungkapan data pribadi oleh jurnalis dan seniman.
Pemohon merasa bahwa pasal-pasal yang ada menciptakan ketidakpastian hukum. Mereka berpendapat bahwa kebebasan berekspresi dan hak atas informasi publik harus dipertahankan tanpa dibatasi oleh pasal tersebut.
Dalam sidang pemeriksaan pendahuluan, kuasa hukum pemohon, Gema Gita Persada, mengatakan bahwa rumusan pasal-pasal yang diuji tidak memberikan tempat bagi kebebasan berekspresi. Masih banyak hal yang perlu dipertimbangkan agar hak publik untuk mendapatkan informasi tetap terjaga.
Perlunya Penafsiran yang Jelas dalam UU Perlindungan Data Pribadi
Dalam konteks ini, para pemohon yang terdiri dari individu dan organisasi seperti AJI Indonesia dan SAFEnet menginginkan penafsiran yang jelas mengenai pasal-pasal dalam UU tersebut. Ketidakjelasan ini dapat mengakibatkan pembungkaman suara-suara publik yang sah. Jurnalis dan seniman, sebagai bagian dari masyarakat, harus dapat melaksanakan tugas mereka tanpa rasa takut akan sanksi hukum.
Pemohon juga mengindikasikan bahwa pasal yang tidak memiliki pengecualian eksplisit akan memunculkan ketidakpastian hukum. Ketentuan ini bertentangan dengan semangat konstitusi yang menjamin kebebasan berpendapat dan hak untuk mendapatkan informasi.
Keluhan ini terfokus pada Pasal 65 dan Pasal 67 yang dinilai berpotensi menimbulkan dampak negatif pada kebebasan berekspresi. Mengingat pentingnya peran jurnalis dalam demokrasi, perlindungan terhadap fungsi mereka sangatlah krusial.
Pengaruh UU PDP terhadap Kebebasan Berpendapat di Indonesia
Pasal 65 ayat (2) UU PDP secara tegas melarang pengungkapan data pribadi tanpa izin. Hal ini dinilai berpotensi mengancam kerja-kerja jurnalistik yang memerlukan akses data demi kepentingan publik. Menurut para pemohon, penerapan pasal ini dapat dipergunakan untuk membatasi partisipasi warga negara dalam menyampaikan kritik terhadap kebijakan publik.
Kondisi ini bertentangan dengan prinsip-prinsip dalam sistem demokrasi konstitusional, di mana kedaulatan rakyat seharusnya dijamin. Setiap individu harus memiliki ruang untuk mengekspresikan pandangannya tanpa rasa takut akan penuntutan yang berlebihan.
Lebih jauh, pemohon mengingatkan bahwa norma hukum yang kabur dapat menimbulkan ketakutan di masyarakat. Hal ini akan melemahkan iklim demokrasi, yang pada akhirnya merugikan seluruh rakyat.
Dampak Gugatan terhadap Pengaturan Data Pribadi di Tingkat Internasional
Selain gugatan tentang kebebasan berekspresi, ada juga tuntutan terkait ketentuan transfer data pribadi antarnegara. Dalam permohonan lain, seorang advokat bernama Rega Felix menggugat Pasal 56 UU PDP yang diangap tidak memadai dalam melindungi hak-hak rakyat terkait data pribadi mereka.
Rega menyatakan bahwa penempatan kedaulatan rakyat sebagai pemilik data pribadi harus menjadi fokus utama. Ketidakjelasan mengenai siapa yang berwenang melakukan transfer data dapat mengakibatkan kerugian konstitusional yang mendalam.
Pemohon menegaskan bahwa prinsip persetujuan subjek data harus menjadi dasar utama dalam setiap transaksi data pribadi. Tanpa adanya dukungan rakyat dalam hal ini, kerjasama internasional yang melibatkan data pribadi berpotensi melanggar hak-hak konstitusional.