Komisi VIII DPR, yang dipimpin oleh Marwan Dasopang, sedang mempercepat pembuatan revisi Undang-Undang Haji dan Umrah yang diharapkan selesai pada bulan Agustus mendatang. Proses pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) ini kini tengah dijalankan dengan melibatkan berbagai pihak dari pemerintah dan organisasi terkait.
Marwan menegaskan bahwa urgensi RUU ini sangat tinggi, terutama setelah adanya permintaan dari Pemerintah Arab Saudi untuk segera menentukan area di Arafah. Hal ini menjadi isu penting karena tanpa landasan hukum yang jelas, sejumlah kesepakatan tidak dapat ditegaskan.
Anak kalimat strategis ini menjadi pembuka bagi diskusi yang lebih luas mengenai bagaimana pengelolaan haji dan umrah di Indonesia bisa ditingkatkan. Selain itu, ia juga menambahkan bahwa saat ini Komisi VIII masih dalam tahap menampung masukan dari Kementerian Agama dan BP Haji.
“Kami sedang mengumpulkan berbagai usulan, dan ini menjadi bagian dari agenda prioritas kami di masa persidangan kali ini,” ucapnya. Menurutnya, banyak hal yang harus diatur agar pengelolaan haji menjadi lebih efisien dan terstruktur.
Urgensi Penyelesaian RUU dalam Waktu Dekat
Marwan menekankan bahwa kebutuhan untuk segera menyelesaikan RUU Haji dan Umrah sangat mendesak. “Pemerintah Saudi telah meminta kepastian dari kita,” katanya lebih lanjut. Hal ini menandakan bahwa perhatian internasional terhadap pengelolaan haji di Indonesia semakin meningkat.
Situasi ini juga membuat Komisi VIII harus bergerak cepat agar tidak terjebak dalam birokrasi yang berkepanjangan. “Dengan UU yang jelas, kita bisa menjawab kebutuhan serta pertanyaan dari pemerintah Saudi,” tegas Marwan.
Dalam proses ini, Marwan menyebutkan bahwa ada beberapa tantangan yang harus dihadapi. Satu di antaranya adalah menjaring usulan dari banyak pihak yang memiliki pandangan dan kepentingan berbeda. “Diskusi yang komprehensif diperlukan untuk mencapai kesepakatan,” tambahnya.
Dampak Perubahan Struktur Haji dan Umrah
Selain kebutuhan mendesak untuk aturan, ada juga pembicaraan tentang peralihan pengelolaan haji dari Kementerian Agama ke Badan Pengelola Haji (BP Haji). Perubahan ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi dalam operasional penyelenggaraan haji di masa depan.
Marwan menjelaskan bahwa Balai Pengelola Haji saat ini memiliki potensi untuk berkembang menjadi kementerian. “Ini bisa jadi langkah baik untuk meningkatkan layanan haji di Indonesia,” ujarnya. Meski demikian, banyak pertanyaan mengenai apa yang akan berubah jika BP Haji mendapat status kementerian tetap belum terjawab.
Usulan ini mencuat setelah Wakil Ketua DPR turut menekankan adanya aspirasi dari sejumlah anggota DPR. Cucun Ahmad Syamsurizal mengatakan bahwa ada keinginan dari beberapa pihak agar BP Haji menjadi kementerian.
Rincian dan Harapan untuk UU Haji yang Baru
Kepala BP Haji, M. Irfan Yusuf, menyampaikan bahwa tugas dan wewenang lembaga ini akan diatur dalam UU Haji yang baru. Dengan pembaruan ini, diharapkan layanan terhadap jemaah haji bisa ditingkatkan serta penegakan hukum dalam pengelolaan haji menjadi lebih tegas.
Meskipun banyak hal masih dalam tahap diskusi, Marwan optimis bahwa RUU ini akan membawa perubahan signifikan. “Kami sedang berusaha sekuat tenaga untuk menyelesaikan ini di Agustus,” ujarnya menutup pernyataan. Langkah cepat dalam pengesahan UU Haji yang baru merupakan tanggung jawab besar yang harus diperhatikan oleh semua pihak.
Akhir kata, masa depan pengelolaan haji dan umrah di Indonesia sangat tergantung pada skenario legislasi yang dapat segera terwujud. Makna dari pengaturan ini lebih dari sekedar label lembaga, namun lebih kepada kualitas layanan yang akan diterima oleh jemaah haji di masa mendatang.