Di Jakarta, pada 22 Januari 1780, kehidupan masyarakat seolah berjalan normal hingga saat itu. Aktivitas sehari-hari mereka terhenti seiring dengan munculnya suara gemuruh yang tidak biasa, mengubah akhir pekan mereka menjadi momen yang akan terukir dalam sejarah.
Suara misterius itu awalnya dianggap sebagai bunyi gerobak yang mengangkut barang berat, namun seiring waktu, rasa penasaran semakin bertambah ketika suara itu tidak segera hilang. Seketika, getaran hebat mulai mengguncang tanah, membuat seluruh warga panik dan berusaha mencari perlindungan.
Guncangan seakan tidak berujung, hingga pukul 14.42, ketika akhirnya getaran mereda. Namun, tidak lama berselang, ledakan yang menggetarkan dari Gunung Salak dan Gunung Gede menandai bahwa bencana ini jauh dari selesai.
Kerusakan Besar dan Korban Jiwa di Jakarta
Laporan dari koran lokal menyatakan bahwa dalam waktu singkat, sebanyak 27 bangunan di Jakarta mengalami kerusakan parah akibat guncangan tersebut. Beberapa korban jiwa dilaporkan, termasuk seorang bayi yang tertimpa reruntuhan namun beruntung selamat.
Di luar Jakarta, kerusakan semakin parah dengan banyak rumah hancur total, memaksa penduduknya mengungsi dan kehilangan tempat tinggal serta seluruh harta benda. Situasi semakin menambah ketegangan, ketika kerusuhan mulai terjadi di antara mereka yang kehilangan segalanya.
Jakarta saat itu masih merupakan kota yang dibangun dengan fondasi kayu yang sederhana. Dengan dominasi bangunan tidak permanen, efek dari guncangan ini menjadi sangat terasa. Pusat perdagangan saat itu adalah Batavia, yang dipenuhi aktivitas perdagangan oleh VOC.
Penyebaran Getaran ke Seluruh Jawa
Beberapa hari setelah kejadian, diketahui bahwa guncangan hebat itu tidak hanya terasa di Jakarta saja. Catatan sejarah mencatat bahwa hampir seluruh pulau Jawa merasakan dampaknya, dengan wilayah yang paling parah terdampak adalah Banten, Bogor, dan Cirebon.
Pada saat yang sama, kapal dagang Belanda yang berlayar di Selat Sunda pun merasakan getaran yang dihasilkan oleh gempa laut tersebut. Istana Gubernur Jenderal di Bogor juga dilaporkan terkena dampak signifikan dari bencana ini.
Penelitian modern menunjukkan bahwa getaran luar biasa ini bisa dirasakan hingga ke bagian barat Sumatra, sesuatu yang mengindikasikan jangkauan kerusakan yang luas dari peristiwa tersebut. Ini adalah salah satu peristiwa bencana alam yang terukir dalam memori kolektif masyarakat Indonesia.
Pemahaman Baru Melalui Penelitian Sejarah
Meskipun tidak ada data pada masa itu yang memberikan rincian jelas tentang jumlah korban dan kerusakan, penelitian yang dilakukan ratusan tahun kemudian berhasil mengidentifikasi penyebab dan dampak dari gempa itu. Kolaborasi antara institusi terkemuka mengungkap skenario gempa dengan menggunakan data seizmologi yang lebih modern.
Salah satu temuan penting adalah bahwa gempa tahun 1780 berkaitan erat dengan Sesar Baribis, yang merupakan jalur patahan yang aktif di daerah tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa kejadian gempa tersebut berhubungan langsung dengan aktivitas lipatan geologi di wilayah Jawa Barat.
Studi lain juga menunjukkan bahwa pada saat itu, kekuatan gempa diperkirakan berada di kisaran M7-8, yang memberikan gambaran betapa dahsyatnya dampak dari bencana ini. Diperoleh informasi bahwa hingga 34 ribu orang diperkirakan kehilangan nyawa, menjadikannya salah satu gempa terburuk dalam sejarah Jawa.