Parade militer China yang berlangsung pada 3 September menjadi perhatian global, terutama dengan kehadiran tokoh-tokoh besar seperti Presiden Rusia dan Pemimpin Korea Utara. Momen ini mengundang komentar dari berbagai negara, termasuk Amerika Serikat, yang menunjukkan ketegangan geopolitik yang berkelanjutan.
Presiden Amerika Serikat memberikan tanggapan terkait pertemuan tersebut dengan melontarkan tuduhan konspirasi. Dia berharap agar hubungan antara para pemimpin tersebut tidak mengancam posisi AS dalam arena internasional.
Penting untuk melihat bagaimana sejarah mencatat kunjungan Presiden Pertama Indonesia, Soekarno, ke China sebagai cerminan hubungan diplomatik yang kompleks dan pengaruh global pada waktu itu.
Pengaruh Kunjungan Soekarno ke China yang Bersejarah
Kunjungan Soekarno pada 30 September 1956 ke China adalah langkah strategis yang membuka jalan bagi hubungan diplomatik kedua negara. Sambutan yang hangat dari pemimpin China seperti Mao Zedong menandakan pengakuan penting atas Indonesia di kancah internasional.
Harian Kedaulatan Rakyat mencatat bagaimana Soekarno dijemput dengan penuh kehormatan dan diarak oleh ribuan rakyat China yang antusias. Hal ini menunjukkan dukungan publik yang luas terhadap hubungan Indonesia-China pada masa itu.
Pengawasan AS terhadap Soekarno menjadi sangat penting, mengingat latar belakang geopolitik saat itu yang terpengaruh oleh Perang Dingin. Indonesia dilihat sebagai lokasi strategis yang dapat memengaruhi keseimbangan kekuatan antara blok barat dan timur.
Dokumen Rahasia CIA Ungkap Keterlibatan dalam Kunjungan Soekarno
Dokumen rahasia yang dipublikasikan oleh CIA menyimpan banyak informasi mengenai kunjungan Soekarno, mencakup perjalanan ke 17 kota di China. Laporan itu menunjukkan betapa seriusnya perhatian AS terhadap kedekatan Indonesia dengan komunis.
Soekarno diidentifikasi sempat mendukung klaim China atas Taiwan, yang menjadi salah satu poin yang mengkhawatirkan bagi AS. Pro dalam mendukung Taiwan bisa berpotensi memperburuk hubungan antara Indonesia dan kekuatan barat.
Berdasarkan dokumen tersebut, Soekarno tampak berusaha menjalin persahabatan yang lebih erat dengan Beijing, menegaskan aspirasi bersama antara kedua bangsa. Sikap ini semakin menguatkan kedekatan kedua negara yang selama ini dipelihara.
Reaksi Soekarno Terhadap Pengawasan AS
Soekarno menyadari bahwa setiap langkahnya di bawah pengawasan ketat AS, dan merasa bahwa kunjungannya dianggap sebagai ancaman. Dalam autobiografinya, dia mencatat bahwa AS mengangap kedekatannya dengan Beijing adalah sebuah kesalahan politik.
Dia juga mengeluhkan bagaimana media Amerika berupaya menggiring opini publik negatif terhadap dirinya, yang akhirnya mengarah pada penilaian yang salah mengenai ideologinya. Soekarno merasa bahwa kebijakan AS lebih berbasis pada kepentingan daripada kebenaran.
Dalam pandangannya, hubungan antara Indonesia dan China terjalin melalui sejarah panjang yang harus dihormati tanpa campur tangan dari kekuatan asing. Pandangan ini menjadi landasan penting dalam diplomasi Indonesia ke depan.
Poros Baru dalam Geopolitik: Jakarta, Beijing, Pyongyang
Setelah kunjungannya, Soekarno memperkuat hubungan tersebut dengan membentuk poros diplomatik baru yang melibatkan China dan Korea Utara. Hal ini menunjukkan bagaimana Indonesia berusaha untuk menjadi kekuatan yang tidak bisa dianggap remeh di Asia.
Pembentukan poros Jakarta-Peking-Pyongyang menandai era baru lagi dalam politik Asia Tenggara, di mana Indonesia berperan sebagai mediator. Namun, relasi ini tidak bertahan lama seiring dengan pergantian kekuasaan di Indonesia.
Setelah Soekarno lengser pada 1966, pendekatan diplomatik terhadap China segera berubah. Presiden Sukarno yang menekankan hubungan dekat dengan Beijing digantikan oleh Soeharto yang menolak ideologi komunis, membawa hubungan kedua negara ke titik beku.