Ratusan tahun silam, masyarakat Batavia hidup dalam ancaman serangan harimau, yang tidak hanya mengganggu kehidupan sehari-hari mereka tetapi juga menandai periode ketegangan yang panjang. Serangan ini tidak hanya menimbulkan ketakutan, tetapi juga membuat pemerintah kolonial Belanda merasa perlu untuk mengambil tindakan tegas demi melindungi penduduknya dari teror yang datang dari alam.
Menurut catatan sejarah, harimau Jawa tidak hanya menjadi predator di hutan-hutan, tetapi juga menjadi permasalahan serius bagi kaum kolonial. Ketika serangan-serangan mulai meningkat, pemerintah VOC tidak punya pilihan selain mengeluarkan sejumlah kebijakan untuk menanggulangi masalah ini dan melindungi warganya.
Sejarawan Peter Boomgaard dalam bukunya mencatat bahwa dari tahun 1633 hingga 1687, tidak kurang dari 30 insiden serangan harimau telah dilaporkan. Banyak dari insiden tersebut terjadi di kebun tebu yang merupakan habitat alami harimau, menyediakan lingkungan yang rimbun dan banyak mangsa.
Menghadapi Ancaman Harimau di Zaman Kolonial
Pada tahun 1659, terjadi insiden mengerikan di kawasan Ancol, di mana 14 orang menjadi korban serangan harimau dalam satu malam. Kejadian ini memperlihatkan betapa serious-nya ancaman yang dihadapi oleh warga Batavia pada waktu itu.
Seiring waktu, pemerintah kolonial mulai merasakan dampak dari situasi ini, tidak hanya terhadap penduduk lokal tetapi juga terhadap warga Eropa yang tinggal di Batavia. Tahun 1668 menjadi tahun di mana seorang warga Eropa bernama Louis van Brussel menjadi salah satu korban yang tewas diterkam harimau, konteks yang semakin memperburuk keadaan.
Keberadaan harimau di daerah tersebut memaksa VOC untuk melakukan tindakan nyata. Pada tahun 1644, mereka mengerahkan sekitar 800 pemburu untuk menumpas populasi harimau, sebuah langkah yang terlihat drastis dalam upaya melindungi populasi umum dari serangan harimau.
Perburuan dan Pemburuan Harimau di Batavia
Pemerintah kolonial bahkan memamerkan bangkai harimau hasil perburuan di depan Balai Kota, sebuah tindakan simbolik yang menunjukkan komitmen mereka untuk menanggulangi ancaman ini. Seluruh masyarakat disarankan untuk melaporkan setiap penampakan harimau agar bisa segera diambil tindakan.
VOC juga menawarkan insentif keuangan, menjanjikan hadiah bagi siapa pun yang berhasil membunuh harimau. Catatan menyebutkan bahwa setiap harimau yang dibunuh akan mendapatkan imbalan sekitar 10 ringgit, cukup untuk menopang satu keluarga selama setahun dengan pasokan beras.
Reward ini secara tidak langsung mendorong perburuan harimau di kalangan masyarakat, yang akhirnya berujung pada penurunan drastis populasi harimau Jawa. Kondisi ini tidak hanya berakibat pada penurunan angka harimau, tetapi juga mengubah ekosistem lokal.
Konflik Manusia dan Harimau yang Semakin Tajam
Seiring dengan pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan, habitat harimau semakin berkurang, menambah ketegangan antara manusia dan alam. Antropolog mencatat bahwa pada masa kolonial, sekitar 2.500 orang tewas setiap tahunnya akibat serangan harimau, menunjukkan skala konflik yang sangat besar di wilayah tersebut.
Setelah ratusan tahun perburuan yang masif, kondisi populasi harimau Jawa semakin mengkhawatirkan. Dari perkiraan populasi antara 200-300 ekor pada tahun 1940, IUCN memasukkan harimau Jawa ke dalam daftar hewan punah pada tahun 2008, sebuah keputusan yang mencerminkan situasi darurat yang telah berlangsung lama.
Sejak saat itu, meskipun harimau Jawa dikategorikan punah, berbagai laporan mengenai penampakan harimau terus muncul di masyarakat. Misalnya, pada tahun 2019 di desa Cipendeuy, Sukabumi Selatan, terlihat jejak dan bulu yang diduga milik harimau.