Populasi harimau liar di seluruh dunia terus mengalami penurunan yang signifikan, bahkan kini hanya tersisa sekitar 4.000 ekor. Sebagai makhluk yang paling dominan di planet ini, manusia memainkan peran besar dalam penurunan ini melalui berbagai aktivitas seperti perburuan dan perusakan habitat.
Kondisi ini menimbulkan keprihatinan yang mendalam dan menjadi alasan mengapa setiap tanggal 29 Juli diperingati sebagai Hari Harimau Internasional. Peringatan ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya upaya konservasi terhadap satwa langka, terutama harimau.
Di Indonesia, sejarah perburuan harimau sudah berlangsung sejak ratusan tahun yang lalu, dan meskipun sering dijustifikasi dengan alasan keamanan, praktik ini telah menjadi salah satu penyebab utama penurunan populasi harimau. Salah satu perburuan yang terkenal terjadi di kawasan Jakarta, dulunya dikenal sebagai Batavia, yang menjadi saksi bisu dari banyaknya serangan harimau.
Sejarah Perburuan Harimau di Jakarta dan Dampaknya
Ratusan tahun silam, Jakarta masih merupakan hutan lebat yang dihuni oleh berbagai satwa liar, termasuk harimau Jawa. Pada masa itu, sebagian besar penduduk tidak hanya berjuang melawan tekanan kolonialisme, tetapi juga menghadapi ancaman langsung dari harimau yang berkeliaran bebas di lingkungan sekitar.
Sejarawan Peter Boomgaard mencatat bahwa antara tahun 1633 hingga 1687, sekitar 30 laporan mengenai serangan harimau terhadap manusia tercatat. Kebanyakan serangan tersebut terjadi di daerah kebun tebu, tempat yang disukai harimau karena padat akan makanan.
Dalam catatannya, Boomgaard menceritakan tentang seorang warga China yang diserang harimau saat berburu di siang hari. Banyak serangan yang membuat korban tidak hanya mengalami cedera tetapi juga kehilangan nyawa, menimbulkan ketakutan di kalangan penduduk.
Di tahun 1659, tercatat bahwa 14 orang menjadi korban serangan harimau di Ancol dalam kurun waktu yang sangat singkat. Serangan ini berkisar dari serangan mendekati jalan hingga penculikan oleh harimau ke hutan.
Tak hanya penduduk lokal, harimau juga mengincar orang-orang Eropa. Korban Eropa pertama yang tercatat adalah Louis van Brussel yang tewas diterkam harimau pada tahun 1668. Catatan-catatan ini mencerminkan betapa seriusnya ancaman yang ditimbulkan oleh harimau bagi kehidupan masyarakat kala itu.
Tindakan Pemerintah Kolonial untuk Mengatasi Masalah Ini
Karena semakin banyaknya serangan harimau, pemerintah kolonial pun mengambil tindakan untuk melindungi penduduk. Menurut sejarawan Hendrik E. Niemeijer, pada tahun 1644, VOC mengerahkan sekitar 800 orang untuk memburu harimau yang dianggap mengancam ketenteraman masyarakat.
Selama perburuan tersebut, bangkai harimau yang terbunuh dipamerkan sebagai simbol keberhasilan pemerintah dalam melindungi penduduk. Masyarakat sipil juga diundang untuk berpartisipasi dalam perburuan dengan imbalan uang tunai.
Hadiah yang ditawarkan bervariasi tergantung pada tingkat keganasan dan ukuran harimau, sehingga insentif ini mendorong masyarakat untuk lebih aktif melakukan perburuan secara mandiri. Hal ini berujung pada penurunan jumlah harimau secara drastis.
Catatan Boomgaard mencatat bahwa setiap tahun lebih dari 50 harimau terbunuh hanya di sekitar Batavia. Maka tidak mengherankan jika akhirnya populasi harimau semakin terdesak dan mulai bermigrasi ke wilayah lain seperti Banten dan Bogor.
Meskipun begitu, perburuan harimau tidak hanya terjadi di Jakarta, tetapi juga meluas ke berbagai wilayah Jawa dengan alasan yang sama, yakni keamanan. Praktik ini merugikan ekosistem dan populasi harimau secara keseluruhan.
Konflik Antara Manusia dan Harimau dalam Konteks Sosial dan Ekonomi
Dalam riset oleh antropolog R. Wessing, perubahan ekonomi di Jawa menjadi salah satu faktor utama penyebab tingginya angka perburuan. Tak dapat dipungkiri bahwa pembukaan hutan untuk kepentingan perkebunan dan ekonomi kolonial menciptakan konflik antara harimau dan manusia.
Akibatnya, harimau mulai menyerang ternak dan manusia, yang menyebabkan rata-rata korban jiwa mencapai 2.500 orang setiap tahunnya. Dalam upaya melindungi diri, masyarakat pun memburu harimau, menciptakan lingkaran kekerasan yang sulit diputus.
Perburuan yang masif ini berimplikasi serius bagi populasi harimau, terutama harimau Jawa, yang telah mengalami penurunan dramatis. Pada tahun 1940, diperkirakan hanya tersisa sekitar 200-300 ekor saja.
Jumlah tersebut terus menyusut dan pada 1980-an, harimau Jawa dinyatakan punah. Hal ini merupakan sebuah pelajaran berharga tentang bagaimana tingginya interaksi manusia dengan lingkungan dapat menyebabkan dampak yang tak terduga.
Penting untuk menyadari bahwa langkah-langkah konservasi kini harus lebih diperkuat untuk mencegah kejadian serupa terjadi pada spesies lain yang terancam punah. Kesadaran akan pentingnya konservasi perlu ditanamkan sejak dini untuk melestarikan keanekaragaman hayati.