Peristiwa gempa bumi berkekuatan M8,7 Skala Richter yang terjadi di Kamchatka, Rusia pada Rabu, 20 Juli 2025, menjadi pengingat penting bagi masyarakat di seluruh dunia, khususnya Indonesia, untuk meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana. Indonesia terletak di jalur pertemuan lempeng tektonik, menjadikannya daerah yang rawan terhadap berbagai jenis bencana alam seperti gempa dan tsunami.
Kondisi geografis dan geologis Indonesia yang berada di daerah cincin api Pasifik menjadikan negara ini rentan terhadap aktivitas seismik yang cukup sering. Dalam konteks ini, pentingnya edukasi dan pelatihan kesiapsiagaan bencana tidak bisa dikesampingkan. Pendekatan terbaik adalah belajar dari pengalaman historis dan mengintegrasikannya dalam upaya mitigasi bencana.
Bahkan dengan kemajuan teknologi, saat ini belum tersedia alat yang dapat secara akurat memprediksi waktu dan kekuatan terjadinya gempa bumi. Oleh karena itu, mempelajari sejarah bencana masa lalu menjadi sangat relevan untuk memahami potensi ancaman di masa depan dan mengambil langkah-langkah antisipatif yang diperlukan.
Sejarah Gempa Megathrust yang Menghebohkan
Salah satu contoh sejarah penting adalah gempa megathrust yang terjadi di Laut Banda pada 1 Agustus 1629, yang kini telah berusia 396 tahun. Gempa ini tercatat memiliki kekuatan M8,3 dan berujung pada terjadinya tsunami yang mencapai ketinggian 15,3 meter, meluluhlantakkan wilayah di sekitarnya.
Catatan sejarah mengungkapkan bahwa gelombang tsunami yang muncul akibat gempa melaju ke arah Barat dan menerjang Benteng Nassau di Banda Naira, serta sejumlah desa pesisir di sekitarnya. Dampak dari tsunami ini sangat signifikan, merusak sistem pertahanan dan menghancurkan bangunan yang ada.
Dalam penelitiannya, Wichmann menyebutkan bahwa pemecah gelombang yang terbuat dari batu hancur, dan gelombang tersebut masuk ke dalam benteng, menyeret barang-barang berat hingga jauh. Meski begitu, hanya sedikit catatan sejarah yang tersisa mengenai peristiwa besar ini, menyisakan teka-teki bagi historian dan ilmuwan masa kini untuk mengungkap detailnya.
Dari Penelitian ke Simulasi, Menguak Rahasia Sisa-Sisa Sejarah
Ratusan tahun setelah peristiwa ini, dua ilmuwan, Zac Yung-Chun Liu dan Ron A. Harris, melakukan simulasi untuk memahami lebih dalam mengenai gempa Banda 1629. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa peristiwa ini merupakan hasil dari tumbukan antara lempeng Indo-Australia dan Eurasia di zona subduksi lempeng Banda.
Dari simulasi yang mereka lakukan, diketahui bahwa gempa ini bukanlah peristiwa tunggal. Peneliti juga menemukan bahwa gempa susulan masih terjadi dalam rentang sembilan tahun setelah kejadian utama, disertai dampak yang dirasakan hingga radius 300 kilometer dari pusat gempa.
Kemarin, walau tidak ada tsunami yang tercatat di Ambon yang berdekatan dengan titik pusat gempa, arah dan kedatangan gelombang tsunami di Banda memberikan informasi penting bagi para peneliti dalam mengidentifikasi lokasi sumber gempa. Hal ini menjadi pelajaran penting dalam memahami korban dan kerusakan yang ditimbulkan oleh bencana alam.
Pemahaman Ancaman di Abad ke-21
Masuk ke abad ke-20, penelitian lebih lanjut di wilayah Laut Banda mengungkap berbagai rahasia mengenai aktivitas tektonik yang terjadi di kawasan tersebut. Gempa besar yang pernah melanda Ambon pada 1674, mengakibatkan ribuan jiwa melayang, menjadi saksi betapa berbahayanya aktivitas di kawasan tersebut.
Pada penelitian yang lebih baru, ditemukan keberadaan Palung Weber, yang memiliki kedalaman mendekati 7.400 meter dan luas sekitar 50 ribu kilometer persegi. Pembentukan palung ini berhubungan dengan aktivitas tektonik yang terus berlangsung selama ribuan tahun.
Posisi geografis Palung Weber, yang terletak di antara pertemuan lempeng Indo-Australia dan Eurasia, membuat daerah ini sangat labil. Di bawah permukaan laut, aktivitas ini dapat memicu peristiwa besar seperti longsoran tanah yang berpotensi menyebabkan tsunami yang merusak.
Studi-studi terbaru memberikan gambaran yang cukup realistis mengenai skenario terburuk yang mungkin terjadi akibat aktivitas tektonik di Laut Banda. Hasil simulasi menunjukkan bahwa tsunami setinggi 7,7 meter dapat terjadi, di mana Pulau Seram bagian Timur akan menjadi titik pertama yang akan merasakan dampak tersebut.
Melalui pemahaman yang mendalam tentang sejarah dan dinamika geologis ini, kita menyadari bahwa ancaman gempa dan tsunami selalu ada. Oleh karena itu, upaya mitigasi yang tepat dan pendidikan masyarakat tentang kesiapsiagaan bencana menjadi sangat krusial dalam menghadapi kemungkinan terburuk yang dapat terjadi.