Dalam sebuah sidang praperadilan yang berlangsung di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, sejumlah isu hukum yang berkaitan dengan alat bukti dalam perkara pidana dibahas secara mendalam. Dosen Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Ijud Tajudin, memberikan pandangan bahwa keterangan saksi sebagai alat bukti harus memenuhi syarat tertentu agar sah secara hukum.
Ijud menjelaskan bahwa syarat formil dan materiil sangat penting dalam menetapkan validitas keterangan saksi. Hal ini menjadi pokok perdebatan dalam persidangan yang melibatkan aktivis yang tengah berhadapan dengan proses hukum terkait dugaan penghasutan.
Pihak Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) selalu aktif mengajukan pertanyaan untuk mengklarifikasi dan memperdalam pemahaman mengenai kriteria yang dibutuhkan agar suatu keterangan bisa diterima sebagai alat bukti sah. Ini merupakan langkah penting untuk memastikan bahwa hak-hak terdakwa dan prinsip keadilan ditegakkan dalam setiap proses hukum.
Pentingnya Syarat Formil dan Materiil dalam Hukum
Ijud Tajudin menegaskan bahwa untuk memenuhi syarat formil, keterangan saksi harus diambil di bawah sumpah selama proses persidangan. Sementara itu, syarat materiil mengharuskan bahwa saksi yang memberikan keterangan adalah orang yang secara langsung menyaksikan, mendengar, atau mengetahui tindak pidana yang dituduhkan.
“Tanpa memenuhi kedua syarat tersebut, keterangan saksi tidak bisa dianggap sebagai alat bukti yang sah,” ujarnya. Ini menggambarkan betapa krusialnya peran saksi dalam sistem peradilan, di mana setiap detail informasi bisa mempengaruhi jalannya persidangan.
Pertanyaan mengenai apakah keterangan yang diperoleh setelah penetapan tersangka dapat dikategorikan sebagai bukti permulaan juga muncul dalam sidang. Menurut Ijud, alat bukti tersebut seharusnya sudah ada sebelum penetapan tersangka terjadi, agar dapat digunakan untuk mendukung keputusan hukum.
Proses Penegakan Hukum dan Hak Tersangka
Dalam konteks ini, penting untuk memahami bagaimana hukum menempatkan posisi tersangka, terutama dalam kasus yang melibatkan tindakan penangkapan. Ijud menjelaskan bahwa seorang tersangka tidak bisa ditetapkan hanya berdasarkan alat bukti yang didapat setelah penetapan itu sendiri.
“Jika alat bukti baru ditemukan setelah penetapan tersangka, maka itu tidak bisa dianggap sebagai bukti permulaan yang cukup,” jelasnya. Penekanan ini bertujuan untuk menghindari penyalahgunaan wewenang dalam penegakan hukum.
Terkait dengan kasus yang melibatkan Delpedro, Polda Metro Jaya mengklaim bahwa mereka mempunyai dua alat bukti yang sah, yakni keterangan saksi dan keterangan ahli. Namun, pertanyaan muncul mengenai kualitas dan kuantitas dari keterangan tersebut, yang diajukan oleh tim advokasi di persidangan.
Relevansi Keputusan Mahkamah Konstitusi dalam Proses Hukum
TAUD juga menghadirkan seorang Ahli Hukum Tata Negara, Feri Amsari, yang membahas relevansi putusan Mahkamah Konstitusi dalam konteks ini. Menurut Feri, pertimbangan hukum yang dicantumkan dalam keputusan konstitusi bukan hanya sekadar saran tetapi memiliki kekuatan hukumnya sendiri.
“Amar putusan sering kali singkat, namun penting untuk memahami konteks melalui pertimbangan yang ada,” katanya. Fokus pada kualitas putusan membuat pemahaman lebih dalam tentang hak-hak tersangka dan proses hukum menjadi lebih jelas.
Dalam proses hukum, upaya paksa yang dilakukan terhadap Delpedro tanpa panggilan untuk diperiksa memunculkan diskusi tentang keabsahan tindakan polisi. Menurut polisi, mereka memiliki alasan diskresi yang dibenarkan oleh prosedur tetap yang berlaku.
Diskresi dan Praktik Penegakan Hukum
Fenomena diskresi dalam penegakan hukum seringkali menimbulkan kontroversi, terutama dalam kasus-kasus sensitif. Ijud dan anggota tim advokasi lainnya mempertanyakan apakah tindakan diskresi oleh pihak kepolisian dapat membenarkan penangkapan tanpa prosedur yang sesuai.
“Pertanyaan ini penting untuk menegaskan bahwa setiap tindakan penegakan hukum harus mengikuti prosedur yang telah ditetapkan,” tegas Fandi, anggota TAUD. Ketidakpastian hukum seperti ini berpotensi menciptakan ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan.
Sebagai kesimpulan, sidang praperadilan ini menyoroti pentingnya transparansi dan keadilan dalam proses hukum, serta bagaimana setiap langkah yang diambil oleh aparat hukum harus berlandaskan pada ketentuan yang berlaku. Hasil dari persidangan ini diharapkan dapat menjadi preseden yang lebih baik bagi penegakan hukum di Indonesia ke depan.











