Delpedro Marhaen, Direktur Lokataru Foundation, bersama tiga aktivis lainnya, mengalami kegagalan dalam upaya legal mereka untuk membatalkan status tersangka terkait dugaan penghasutan. Sidang praperadilan yang digelar pada 27 Oktober di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berakhir dengan penolakan atas permohonan mereka.
Dalam sidang ini, hakim menyampaikan keputusan yang menunjukkan tidak adanya kelayakan dalam argumen yang diajukan oleh para pemohon. Sidang ini menggambarkan kompleksitas proses hukum yang dialami oleh aktivis yang memperjuangkan hak asasi manusia.
Sebelumnya, permohonan praperadilan ini diajukan oleh mahasiswa Universitas Riau dan aktivitas mahasiswa lainnya, dengan nomor perkara yang spesifik. Ini menjadi bagian dari rangkaian upaya yang menyoroti tantangan yang dihadapi oleh aktivis dalam mempertahankan kebebasan berekspresi di Indonesia.
Proses Hukum Praperadilan dan Keputusan Hakim
Pada hari tersebut, hakim menyatakan bahwa mereka menolak dua permohonan praperadilan yang diajukan oleh Khariq Anhar, salah satu pemohon. Keputusan ini mengkonfirmasi status tersangka Khariq terkait dengan dugaan penghasutan dalam aksi demonstrasi baru-baru ini.
Hakim Sulistyo Muhamad Dwi Putro melafalkan amar putusan yang jelas dan tegas. Ia juga menekankan bahwa biaya perkara ditanggung pemohon dengan jumlah yang nihil, menunjukkan ketidakpuasan terhadap argumen yang telah diajukan.
Setelah itu, hakim membacakan putusan yang sama terhadap permohonan praperadilan Delpedro, di mana hakim memutuskan bahwa penyidik telah memenuhi berbagai prosedur hukum sebelum menetapkan Delpedro sebagai tersangka. Ini menandai pentingnya prosedur yang telah dilalui oleh pihak kepolisian.
Tentang Bukti dan Prosedur Hukum yang Dijalani
Hakim menjelaskan bahwa Polda Metro Jaya telah melakukan penyelidikan yang mendalam, termasuk pemeriksaan saksi dan pengumpulan barang bukti berupa tangkapan layar dari media sosial. Ini menjadi faktor penentu dalam pengukuhan status tersangka Delpedro.
Keputusan hakim menegaskan bahwa penggeledahan terhadap Delpedro telah dilakukan sesuai dengan izin dari pengadilan, sehingga memperkuat dasar untuk tindakan penyidik. Dalam amar putusan, hakim juga menyoroti bukti-bukti yang telah diajukan oleh pihak kepolisian.
Hakim juga menjelaskan bahwa penggeledahan dan penangkapan Delpedro telah diberitahukan kepada keluarganya, menegaskan bahwa prosedur yang dilalui telah mematuhi ketentuan hukum yang berlaku. Ini menambah kejelasan dalam konteks hukum yang sedang dibahas.
Tanggapan dari Tim Advokasi untuk Demokrasi dan Implikasi Keputusan tersebut
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) yang mendampingi para aktivis tersebut mengungkapkan kekecewaan mendalam terhadap keputusan hakim. Mereka menganggap bahwa putusan ini mengesampingkan prinsip-prinsip penting dalam hukum yang menyangkut pemeriksaan saksi sebelum penetapan tersangka.
TAUD menekankan bahwa keempat aktivis tersebut belum pernah diperiksa sebelumnya, dan hal ini menunjukkan adanya kekosongan dalam prosedur hukum yang diikuti. Praperadilan seharusnya menjadi arena untuk menguji keabsahan proses hukum, bukan hanya sebagai forum administrasi.
Lebih lanjut, mereka menyoroti bahwa keputusan ini mencerminkan munculnya tantangan bagi kebebasan berekspresi di Indonesia, di tengah ketegangan yang ada antara aktivitas sosial dan respons dari negara. Hal ini menambah kompleksitas terhadap dinamika hukum yang ada.











