Pada tanggal 10 November, sebuah momen bersejarah terjadi ketika Soeharto, Presiden kedua Republik Indonesia, secara resmi dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto. Acara ini digelar di Istana Negara Jakarta bersamaan dengan peringatan Hari Pahlawan, dihadiri oleh keluarga Soeharto yang merasa bangga akan penghargaan ini.
Soeharto, yang dikenal sebagai sosok kontroversial, memimpin Indonesia selama 32 tahun, dan selama masa kepemimpinannya, banyak yang bisa dikenang, baik positif maupun negatif. Anak-anaknya, Bambang Trihatmodjo dan Siti Hardiyanti Rukmana, hadir untuk mewakili keluarga dalam prosesi penting tersebut.
Ketua Dewan Gelar Tanda Jasa dan Tanda Kehormatan (GTK), Fadli Zon, menyampaikan penilaian bahwa Soeharto pantas mendapatkan gelar tersebut karena kontribusinya yang besar dalam sejarah Indonesia. Ia menyoroti peran Soeharto dalam operasi militer krusial yang membentuk peta politik Indonesia.
Pentingnya Pengakuan Terhadap Jasa Soeharto dalam Sejarah Bangsa
Dalam pengamatannya, Fadli Zon menjelaskan berbagai operasi militer yang terlibat oleh Soeharto, termasuk Serangan Umum 1 Maret dan pertempuran di Ambarawa. Ini adalah bukti dari komitmen Soeharto dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Soeharto juga berperan penting dalam menyelesaikan berbagai pemberontakan, termasuk gerakan 30 September 1965 yang dipimpin oleh PKI. Ini adalah bagian dari narasi besar tentang bagaimana ia menghilangkan ancaman terhadap stabilitas negara.
Terdapat pandangan luas bahwa Soeharto berjasa dalam pembangunan ekonomi, termasuk pengentasan kemiskinan di Indonesia. Berbagai program yang diluncurkannya berfokus pada pembangunan infrastruktur dan peningkatan kesejahteraan rakyat.
Reaksi Pro dan Kontra dari Masyarakat Terhadap Penganugerahan Gelar
Proses penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Soeharto tidak lepas dari pro dan kontra di masyarakat. Banyak kritik muncul terkait pelanggaran HAM selama masa kepemimpinannya, yang memperdebatkan integritas dari gelar yang diberikan. Isu ini memang menjadi topik hangat dalam diskusi publik.
Wakil dari Gerakan Masyarakat Sipil mencatat bahwa langkah ini merupakan sebuah langkah yang mengecewakan, mempertanyakan rasa keadilan bagi mereka yang menjadi korban selama rezim Soeharto. Suara-suara kritis ini menyoroti bahwa tidak semua masyarakat setuju dengan penilaian terhadap jasa-jasanya.
Salah satu penentang terkemuka, Alissa Wahid, putri dari mantan Presiden Abdurrahman Wahid, mengekspresikan keberatannya dengan penganugerahan ini. Ia menegaskan bahwa memori kolektif bangsa Indonesia selama 32 tahun pemerintahannya menunjukkan banyak kejanggalan yang tidak sejalan dengan nilai kepahlawanan.
Persepsi Politik dan Konteks Sejarah di Balik Penghargaan Ini
Di sisi lain, banyak tokoh masyarakat dan ulama yang juga mengekspresikan ketidakpuasan terhadap penghargaan ini. KH Ahmad Mustofa Bisri, atau Gus Mus, adalah salah satu suara yang menolak. Ia memaparkan bagaimana banyak ulama dan tokoh NU yang mengalami penindasan selama Soeharto memimpin.
Pernyataan Gus Mus menyoroti penganiayaan terhadap para ulama dan pembatasan terhadap kebebasan beragama, yang menunjukkan lapisan gelap dari pemerintahan Soeharto yang sering kali terlewatkan. Hal ini memberikan gambaran mengenai ketidakadilan yang berlangsung di era Orde Baru.
Di tengah berbagai pandangan ini, keluarga Soeharto tetap menyatakan syukur atas penghargaan tersebut. Mereka menganggap keputusan ini sebagai pengakuan atas kontribusi Soeharto terhadap negara dan masyarakat Indonesia.











