Provinsi Sumatera Utara (Sumut) baru-baru ini resmi menandatangani perjanjian kerja sama dengan Kejaksaan dalam rangka Pelaksanaan Pidana Kerja Sosial bagi pelaku tindak pidana. Langkah ini menjadikan Sumut sebagai provinsi ketiga yang melaksanakan program serupa setelah Jawa Timur dan Jawa Barat, bagian dari penerapan prinsip keadilan restoratif.
Acara penandatanganan perjanjian kerja sama (PKS) berlangsung di Aula Raja Inal Siregar, di hadiri oleh Gubernur Sumut dan Kepala Kejaksaan Tinggi Sumut. Program ini diharapkan dapat memberikan pendekatan pemidanaan yang lebih manusiawi dan berfokus pada pengurangan beban di lembaga pemasyarakatan.
Pidana kerja sosial sendiri merupakan praktik yang dijalankan sesuai dengan keputusan pengadilan, di mana pelaksanaannya diatur dan diawasi oleh pihak kejaksaan serta dibimbing oleh pembimbing kemasyarakatan. Ini merupakan langkah maju dalam penegakan hukum yang lebih berkeadilan.
Mengapa Kerja Sosial Menjadi Pilihan?
Prinsip dasar dari pidana kerja sosial adalah keadilan dan pemulihan, bukan sekadar hukuman. Undang Mugopal, selaku Pelaksana Tugas Sekretaris Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Umum, menjelaskan bahwa jenis delik yang memenuhi syarat adalah tindak pidana dengan ancaman hukuman di bawah lima tahun.
Dalam praktiknya, jika hakim menjatuhkan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda kategori II sebesar Rp10 juta, maka pidana kerja sosial ini dapat diterapkan. Hal ini bertujuan untuk memberikan peluang pada pelaku untuk memperbaiki diri sambil melakukan kontribusi positif di masyarakat.
Namun, pelaksanaan program ini tetap dengan ketentuan yang jelas. Pelaksanaan kerja sosial tidak boleh bersifat komersial dan hanya dilakukan maksimum delapan jam sehari sesuai ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang baru diadopsi pada tahun 2023.
Faktor Pertimbangan Dalam Pidana Kerja Sosial
Jaksa memiliki kebijakan penuh untuk mempertimbangkan berbagai faktor sebelum menjatuhkan jenis hukuman ini. Beberapa kriteria yang diperhatikan meliputi usia pelaku, di mana jika terdakwa berusia di atas 75 tahun, maka pertimbangan hukum bisa lebih ringan.
Begitu juga dengan pelaku yang baru pertama kali berhadapan dengan hukum, kerugian yang dialami korban yang relatif kecil, dan jika pelaku sudah membayar ganti rugi sebelum persidangan. Faktor-faktor ini penting untuk menjaga keadilan bagi pelaku dan korban.
Berdasarkan keterangan, terdapat lebih dari 300 jenis aktivitas kerja sosial yang bisa dijalani pelaku. Aktivitas ini bervariasi, mulai dari membersihkan masjid hingga membantu proses administrasi kependudukan seperti Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP).
Kedua Belah Pihak Mendukung Program Ini
Gubernur Sumut, Muhammad Bobby Afif Nasution, menyambut baik inisiatif pidana kerja sosial ini. Dalam pandangannya, program keadilan restoratif ini sejalan dengan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Sumut dan mencerminkan bentuk keadilan yang lebih humanis.
Kebijakan ini diharapkan dapat mengurangi jumlah narapidana di lembaga pemasyarakatan yang biasa menjadi terlalu penuh. Dengan mengimplementasikan program ini, diharapkan akan ada berbagai efek positif bagi masyarakat dan lingkungan.
Dalam pernyataannya, Bobby Nasution menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah kabupaten dan kota untuk mengaktifkan ini. Dia pun menyarankan agar pelaku pidana kerja sosial mendapatkan insentif tertentu agar lebih termotivasi untuk memenuhi kewajibannya dengan baik.










