Gunung Semeru, yang terletak di Jawa Timur, telah kembali menunjukkan aktivitas vulkaniknya. Pada Rabu, 19 November 2025, gunung tertinggi di Pulau Jawa ini meletus dengan mengeluarkan awan panas yang menjulang hingga ketinggian 5,5 kilometer, memaksa ribuan warga untuk dievakuasi ke tempat yang lebih aman demi menghindari bencana yang lebih besar.
Keputusan evakuasi ini adalah langkah yang tepat mengingat sejarah panjang letusan Semeru. Sejak letusan pertamanya yang tercatat pada tahun 1818, gunung ini telah menjadi penyebab banyak bencana dengan dampak yang menghancurkan, termasuk letusan dahsyat yang terjadi pada 29-30 Agustus 1909.
Ketika tanda-tanda awal letusan muncul sejak bulan Juni 1909, banyak warga yang belum menyadari bahwa gejala-gejala tersebut merupakan awal dari sebuah tragedi besar. Asap pekat dan gempa vulkanis mulai dirasakan, tetapi tidak ada langkah antisipasi yang cukup berarti, sehingga ketika letusan terjadi, banyak yang terkejut dan tidak bersiap.
Sejarah Letusan Semeru dan Implikasinya bagi Masyarakat
Sejak awal, letusan Semeru telah menjadi bagian dari sejarah yang diwarnai oleh ancaman alam. Letusan pada tahun 1909 menjadi salah satu peristiwa paling mematikan yang tercatat dalam sejarah, dengan ribuan nyawa hilang akibat aliran lahar yang datang secara mendadak. Hal ini menunjukkan bahwa kesiapsiagaan adalah kunci untuk menyelamatkan jiwa.
Laporan dari berbagai media saat itu mencatat bahwa awalnya letusan tidak terdeteksi dengan baik oleh penduduk sekitar. Hanya setelah letusan terjadi, mereka menyadari besarnya dampak yang ditimbulkan. Sifat lahar yang datang tiba-tiba membuat banyak orang terjebak tanpa kesempatan untuk melarikan diri.
Setelah letusan, kondisi di sekeliling Semeru tampak seperti bencana yang mengerikan. Aliran lahar yang mencampur berbagai material seperti pasir, air, dan abu vulkanik mengalir deras, menghancurkan semua yang dilalui. Situasi ini diperparah dengan kekuatan aliran yang digambarkan seperti tsunami.
Dampak Ekonomi dan Sosial akibat Letusan
Kerusakan yang ditimbulkan oleh letusan ini sangat luas dan mendalam. Perkebunan, pabrik, dan rumah-rumah banyak yang hancur. Selain itu, ladang pertanian yang menjadi sumber kehidupan masyarakat juga tidak luput dari dampak bencana tersebut.
Menurut laporan, lebih dari 1.000 hektare sawah terkubur di bawah material vulkanik, sementara ribuan hektare lainnya kehilangan pasokan air. Hal ini merugikan petani lokal dan menyebabkan kekacauan dalam ketersediaan pangan.
Banyak penduduk yang mengalami luka parah, sementara ribuan nyawa melayang. Masyarakat merasakan dampak ekonomi yang signifikan, dan kerugian finansial yang terjadi tidak bisa diperkirakan dengan mudah. Setiap rumah yang hancur dan setiap sawah yang tertimbun sama saja dengan kehilangan kesempatan bertahan hidup.
Pemulihan dan Solidaritas Masyarakat Pasca Bencana
Pasca bencana, ketidakpastian melanda masyarakat setempat. Banyak yang merasa tidak berani kembali ke rumah sebab kondisi Semeru yang belum stabil. Asap dan aktivitas vulkanis masih dirasakan, menciptakan ketakutan dan kecemasan di kalangan penduduk.
Tetapi, di tengah kesulitan, semangat solidaritas mulai menggeliat. Masyarakat dari berbagai lokasi, termasuk Batavia, berusaha meringankan beban yang diderita oleh para korban dengan mengumpulkan dana dan bantuan. Sejumlah gerobak berisi beras dikirimkan untuk membantu kebutuhan pangan mereka.
Tindakan ini menunjukkan bahwa walaupun bencana menimbulkan kesengsaraan yang luar biasa, kekuatan dan kepedulian komunitas dapat memberikan harapan. Namun, pemulihan total tidaklah instan; diperlukan waktu hingga enam bulan bagi masyarakat untuk kembali merasakan normalitas dalam kehidupan mereka.











