Hari Alzheimer Sedunia diperingati setiap tahun pada tanggal 21 September, bertujuan untuk meningkatkan kesadaran tentang demensia serta Alzheimer. Peringatan ini menjadi sangat penting untuk memberikan dukungan kepada pasien dan keluarga yang merawat mereka dalam menghadapi tantangan yang dihadapi.
Menurut laporan terbaru dari organisasi internasional, lebih dari 55 juta orang di seluruh dunia hidup dengan demensia. Di Indonesia, diperkirakan ada 1,2 juta orang yang mengalami kondisi ini, dan angka ini diprediksi akan meningkat signifikan jika tidak ada upaya pencegahan yang dilakukan.
Jumlah pasien demensia di Indonesia diperkirakan akan mencapai 4 juta pada tahun 2050 jika tidak ada intervensi. Kesiapsiagaan dan pemahaman tentang penyakit ini menjadi faktor kunci dalam mempertahankan kualitas hidup pasien.
Pentingnya Memahami Demensia dan Penyakit Alzheimer
Demensia adalah istilah umum yang merujuk pada penurunan fungsi otak, yang dapat mempengaruhi berbagai aspek seperti memori, emosi, serta kemampuan berkomunikasi. Sebagai tipe demensia yang paling umum, Alzheimer memiliki ciri khas penumpukan plak dan simpul protein abnormal di otak yang secara progresif merusak sel-sel otak.
Proses pengembangan Alzheimer biasanya berlangsung secara bertahap. Diawali dengan penumpukan plak yang mengganggu berbagai fungsi otak, selanjutnya penderita dapat mengalami kesulitan dalam berbicara dan mengelola perasaan. Pada tahap lanjut, penyakit ini dapat menimbulkan dampak serius terhadap fungsi-fungsi tubuh yang vital.
Akibat dari penyakit ini tidak hanya dirasakan oleh penderita, tetapi juga oleh keluarga yang harus memberikan perawatan secara intensif. Hal ini menciptakan tantangan emosional dan fisik yang membutuhkan dukungan dan pemahaman dari masyarakat.
Tema Hari Alzheimer Sedunia Tahun 2025: Menyebarkan Informasi
Tema yang diusung pada peringatan tahun ini adalah “Ask About Dementia. Ask About Alzheimer”. Tema ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mengatasi stigma yang sering kali menyertai kondisi demensia.
Berdasarkan survei global, masih ada banyak tenaga kesehatan yang keliru dalam memahami demensia, menganggapnya sebagai bagian normal dari proses penuaan. Sangat penting untuk mengubah paradigma ini guna memberikan perawatan yang lebih baik bagi penderita.
Sebanyak 35% caregiver bahkan pernah merasa perlu menyembunyikan diagnosis karena stigma yang melekat pada demensia. Hal ini menggambarkan pentingnya edukasi publik untuk membangun pemahaman yang lebih komprehensif tentang penyakit ini.
Pentingnya Dukungan Setelah Diagnosis Alzheimer
Saat ini, tidak ada obat yang dapat menyembuhkan Alzheimer; pengobatan hanya dapat memperlambat kemajuan penyakit ini. Oleh karena itu, dukungan pasca diagnosis bagi pasien dan keluarga menjadi kunci untuk meningkatkan kualitas hidup.
Pendekatan yang holistik dengan menggabungkan terapi farmakologis dan non-farmakologis akan lebih efektif dalam penanganan kondisi ini. Terapi kognitif, aktivitas fisik, dan dukungan komunitas adalah beberapa cara untuk membantu pasien dan caregiver.
Ragam pendekatan tersebut perlu dilakukan secara bersamaan dengan pengawasan dari tenaga kesehatan yang berkompeten. Melibatkan masyarakat dalam mendukung pasien juga dapat menciptakan lingkungan yang lebih ramah dan inklusif.
Sejarah dan Evolusi Kesadaran tentang Alzheimer
Peringatan Hari Alzheimer Sedunia dimulai pada tahun 1994 seiring dengan 10 tahun berdirinya organisasi internasional yang berfokus pada Alzheimer. Sejak itu, bulan September ditetapkan sebagai bulan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang penyakit ini di seluruh dunia.
Penyakit Alzheimer sebenarnya pertama kali diidentifikasi pada tahun 1901 oleh psikiater Jerman, Alois Alzheimer. Saat itu, ia merawat seorang pasien yang mengalami gejala kehilangan memori yang parah, yang kini kita ketahui sebagai salah satu gejala utama Alzheimer.
Seiring dengan waktu, kesadaran tentang Alzheimer dan demensia secara keseluruhan semakin meningkat, dengan lebih banyak penelitian yang dilakukan untuk memahami kondisi ini. Masyarakat umum perlu terus diedukasi untuk menghilangkan stigma dan mendukung penelitian dan terapi terkait.











