Ketua Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun, memberikan pernyataan penting terkait defisit anggaran penerimaan dan belanja negara. Ia mengingatkan bahwa jika tidak ada kontribusi dari cukai rokok, defisit anggaran bisa melonjak lebih dari 3 persen, menimbulkan kekhawatiran bagi perekonomian negara.
Menurutnya, kontribusi cukai rokok sangat signifikan. Besarnya jumlah cukai yang dibayarkan oleh perusahaan rokok di awal tahun, meskipun produk tersebut belum diproduksi, memberikan stabilitas sementara pada APBN.
“Defisit kita memang di bawah 3 persen, namun tanpa persepsi cukai rokok, angka tersebut pasti berubah,” ujarnya dalam acara diskusi. Ini menunjukkan betapa vitalnya sektor ini bagi kesehatan keuangan negara.
Peran Cukai Rokok dalam Pencapaian Target APBN
Defisit anggaran negara per 30 September 2025 tercatat mencapai Rp 371,5 triliun, setara dengan 1,56 persen dari PDB. Di sisi lain, target defisit untuk tahun 2025 ditetapkan sebesar 2,78 persen.
Misbakhun menegaskan meski kontribusi cukai dari rokok sangat signifikan, namun pemerintah tidak terlihat menerapkan kebijakan yang mendukung sektor industri rokok. Misalnya, tidak ada dukungan berupa subsidi untuk pupuk dan bibit bagi petani tembakau.
Dia juga mencatat kurangnya pembinaan kepada petani tembakau dalam hal penggunaan pestisida yang aman. Ini menunjukkan perlunya perhatian lebih dari pemerintah terhadap sektor yang memiliki kontribusi besar bagi pendapatan negara.
Usulan untuk Kebijakan Pro-Industri Rokok yang Lebih Baik
Misbakhun mengusulkan agar pemerintah lebih proaktif dalam menerapkan kebijakan yang mendukung industri rokok. Dia percaya bahwa ada kesempatan untuk perbaikan, terutama setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memutuskan untuk tidak menaikkan cukai rokok.
“Ada lebih dari Rp 200 triliun dari penerimaan negara yang bergantung pada cukai tembakau. Kita tidak perlu berutang, tetapi sebaliknya, pabrik rokok yang seharusnya didukung,” ucapnya dengan tegas.
Ia menekankan bahwa langkah pembenahan bisa dimulai dari revisi Undang-Undang Cukai. DPR dipastikan akan terbuka terhadap usulan publik terkait hal ini.
Konsekuensi dari Kebijakan Cukai yang Tinggi
Sebelumnya, Menteri Keuangan menyatakan ketidaksetujuannya terhadap tarif cukai rokok yang tinggi, yang mencapai 57 persen. Dalam pandangannya, angka tersebut tergolong ekstrem dan perlu dipertimbangkan ulang.
Jika dibiarkan, tarif yang tinggi ini bisa berdampak negatif pada industri rokok dan petani tembakau yang bergantung pada pasar. “Ada cara mengambil kebijakan yang bisa dikatakan aneh, terutama saat mendengar angka cukai saat ini,” tuturnya dalam rapat media.
Ini menjadi sinyal bagi pemerintah untuk mengevaluasi kembali kebijakan cukai rokok, sehingga dapat menciptakan keseimbangan antara kesehatan masyarakat dan keberlangsungan industri.











