Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) baru-baru ini melakukan pembahasan terkait isu krusial dalam industri emas yang melibatkan PT Aneka Tambang Tbk. Pertanyaan ini muncul setelah laporan bahwa perusahaan menghadapi masalah mengenai produk emas dengan stempel dari Singapura, yang menimbulkan pertanyaan di masyarakat mengenai keandalan sumber emas yang beredar.
Wakil Ketua Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menekankan pentingnya klarifikasi mengenai isu ini selama Rapat Dengar Pendapat. Ia bertanya langsung kepada Direktur Utama Antam, Achmad Ardianto, mengenai dugaan bahwa emas yang dipasarkan tidak memenuhi standar yang diperlukan.
Achmad menanggapi pertanyaan tersebut dengan membantah tuduhan yang ada, meskipun ia mengakui bahwa kapasitas pemurnian emas Antam saat ini sangat terbatas. Pasalnya, permintaan emas dari masyarakat terus meningkat, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan yang bisa diproduksi oleh Antam.
Strategi Antam Menghadapi Permintaan Emas yang Tinggi
Dalam diskusi yang berlangsung, Achmad mengungkapkan rasa syukur atas meningkatnya kesadaran masyarakat mengenai kebutuhan emas. Dia mencatat bahwa pada tahun lalu, Antam berhasil menjual sekitar 37 ton emas, dan tahun ini menargetkan penjualan mencapai 45 ton.
Masalah utama terletak pada tambang yang dimiliki Antam, yakni tambang di Pongkor, yang hanya mampu memproduksi satu ton emas per tahun. Dengan kebutuhan yang terus meningkat, jelas terlihat ketidakcocokan antara produksi dan permintaan di pasar.
Salah satu solusi yang diambil oleh Antam adalah dengan melakukan buyback emas dari masyarakat. Melalui pendekatan ini, mereka berharap dapat menambah stok emas yang tersedia, meskipun jumlah yang bisa didapatkan hanya sekitar 2,5 ton per tahun.
Hambatan dalam Mendapatkan Pasokan Emas
Upaya kedua yang diambil oleh Antam adalah mengakuisisi emas dari perusahaan-perusahaan tambang lain di dalam negeri. Namun, Achmad menegaskan ada kendala dalam hal regulasi yang menghambat proses ini. Banyak perusahaan tambang lebih memilih untuk mengekspor emas yang mereka hasilkan, dibandingkan menjualnya ke Antam.
Kesulitan ini diperparah oleh sejumlah faktor, termasuk pajak dan biaya tambahan yang harus ditanggung oleh para penambang. Para penambang sering kali memilih untuk melakukan ekspor demi mendapatkan keuntungan yang lebih besar.
Achmad mencatat bahwa tawar-menawar harga sering terjadi, dan adanya pajak pertambahan nilai membuat penjualan ke Antam menjadi kurang menarik bagi para penambang. Kondisi ini memperumit Antam untuk mendapatkan pasokan emas yang dibutuhkan untuk memenuhi permintaan pasar.
Pilihan Mengimpor Emas Saat Menghadapi Krisis Pasokan
Dalam menghadapi tantangan ini, Antam juga mempertimbangkan opsi untuk mengimpor emas dari luar negeri. Achmad menjelaskan bahwa perusahaan harus mengimpor sekitar 30 ton emas dari berbagai negara, termasuk Singapura dan Australia.
Penting untuk dicatat bahwa setiap jenis impor dilakukan melalui perusahaan atau lembaga yang terafiliasi dengan London Bullion Market Association (LBMA). Ini menunjukkan bahwa Antam berupaya mengikuti standar internasional dalam menjalankan bisnisnya.
Achmad menegaskan bahwa Antam bukan sekadar mengimpor tanpa perencanaan yang matang. Ia menekankan bahwa pengadaan emas dilakukan dengan harga pasar dan melalui jalur yang transparan untuk menjaga kualitas dan kepercayaan pelanggan.
Potensi Produksi Emas di Indonesia dan Kerjasama dengan Freeport
Pada saat yang bersamaan, Achmad memperlihatkan potensi besar dalam produksi emas di Indonesia, yang bisa mencapai 90 ton per tahun. Potensi ini mencakup juga emas yang dihasilkan oleh PT Freeport Indonesia, yang bisa mencapai 50 ton dalam setahun.
Antam berharap dapat menyerap sebagian dari produksi emas Freeport mulai tahun 2025. Ini akan menjadi kesempatan baik untuk mengurangi ketergantungan terhadap impor, jika semua berjalan sesuai rencana.
Namun, hingga saat ini, hanya ada komitmen untuk menyerap sekitar 9 ton emas dari Freeport yang bisa dilakukan hingga akhir tahun 2025. Kerjasama ini menciptakan harapan baru bagi Antam untuk memenuhi kebutuhan pasar dalam negeri.











