Hari ini menandai 57 tahun peristiwa bersejarah yang mengguncang hubungan Indonesia dan Singapura. Pada tanggal 17 Oktober 1968, dua warga negara Indonesia, Usman Janatin dan Harun Thohir, dieksekusi di Penjara Changi, Singapura, menjadi eksekusi mati pertama bagi warga Indonesia di negeri tersebut.
Usman dan Harun merupakan anggota Korps Komando Operasi (KKO) dan telah terlibat dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia sejak 1962. Konfrontasi ini terjadi ketika presiden Soekarno merasa perlu untuk menentang pembentukan Federasi Malaysia yang dianggapnya sebagai upaya penjajahan baru yang mengancam Indonesia.
Pada 10 Maret 1965, melibatkan aksi teror, mereka terlibat dalam pengeboman yang menewaskan beberapa orang, menambah ketegangan antara kedua negara. Akibat tindakan tersebut, mereka ditangkap dan akhirnya memiliki nasib tragis yang menjadi bagian dari sejarah dua negara.
Pendahuluan Tentang Konfrontasi Indonesia-Malaysia
Konfrontasi yang terjadi antara Indonesia dan Malaysia dimulai pada tahun 1963 dan berlangsung hingga 1966, berakar dari kebijakan presiden Soekarno yang menolak pembentukan federasi tersebut. Soekarno menganggap federasi ini sebagai metode baru penjajahan yang berpotensi mengancam kedaulatan bangsa.
Selama masa konfrontasi, operasi militer menjadi salah satu alat bagi pemerintah Indonesia untuk menanggapi kebijakan-kebijakan yang dianggap mengancam. Tentu saja, Sektor KKO berperan penting dalam militansi nasional di bawah arahan pemerintah.
Kondisi ini membawa dampak signifikan bagi hubungan kedua negara yang sudah terjalin. Kebijakan agresif yang dikeluarkan menciptakan ketegangan yang berkepanjangan, termasuk operasi-operasi sabotase yang merusak stabilitas di wilayah Malaysia.
Operasi Militer dan Tindakan Pengebomban di Singapura
Pada awal Maret 1965, Usman, Harun, dan seorang rekan lagi mencari cara untuk melaksanakan misi sabotase. Melalui penyamaran sebagai pedagang, mereka memasuki pusat kota Singapura dengan membawa bahan peledak.
Awalnya, mereka diarahkan untuk meledakkan gardu listrik sebagai bagian dari rencana awal. Namun, dalam pelaksanaan, mereka memutuskan untuk menyasar gedung yang lebih strategis, yaitu Macdonald House, demi dampak yang lebih signifikan.
10 Maret 1965, ledakan tersebut menyebabkan kerusakan besar, menewaskan tiga orang, dan melukai puluhan lainnya. Suara ledakan menggema di seluruh kawasan Orchard, menjadikannya salah satu peristiwa teror yang paling dikenal dalam sejarah Singapura.
Penangkapan dan Proses Hukum
Setelah melaksanakan misi tersebut, ketiganya mencoba melarikan diri ke Batam. Namun, keberuntungan berpaling ketika mesin perahu mereka mati. Akibatnya, Usman dan Harun tertangkap oleh pihak berwenang Singapura, sementara satu rekan mereka berhasil meloloskan diri.
Dalam persidangan yang diadakan pada tahun 1966, keduanya dijatuhi hukuman mati. Berbagai upaya diplomatik dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk menggugurkan keputusan ini, tetapi semua usaha itu gagal.
Akhirnya, hukuman dijatuhkan, dan pada 17 Oktober 1968, Usman dan Harun dieksekusi. Jenazah mereka kembali ke Indonesia dan diterima dengan penghormatan tinggi, di mana ribuan orang mengiringi pemakaman mereka sebagai bentuk penghargaan.
Pandangan Berbeda Terhadap Usman dan Harun di Dua Negara
Sejarah sering kali memiliki banyak sisi, dan bagaimana Usman dan Harun dikenang berbeda di Indonesia dan Singapura. Di Indonesia, mereka dinilai sebagai pahlawan yang berkorban untuk negara, sementara di Singapura mereka dikenang sebagai teroris yang melakukan penyerangan brutal terhadap warga sipil.
Keputusan presiden yang memberikan gelar Pahlawan Nasional juga menjadi simbol pengakuan terhadap jasanya. Namun, konflik historis ini menciptakan kesenjangan persepsi yang dalam antara kedua negara.
Hubungan yang keruh tersebut mulai meredakan pada tahun 1973, ketika presiden Singapura, Lee Kuan Yew, melakukan simbolisme perdamaian dengan menabur bunga di makam keduanya. Meskipun upaya ini dianggap sebagai langkah maju, beberapa insiden masa lalu tetap membayangi hubungan kedua negara.
Dampak Sejarah Terhadap Hubungan Masa Kini antara Indonesia dan Singapura
Bagi kedua negara, peristiwa ini merupakan pelajaran penting dalam sejarah. Dalam konteks diplomasi, upaya-upaya perdamaian dan saling pengertian menjadi lebih terfokus seiring berjalannya waktu.
Namun, masih ada tantangan yang harus dihadapi, terutama dalam hal sensitivitas terhadap isu-isu historis. Upaya penamaan kapal perang dengan nama Usman-Harun pada tahun 2014 menunjukkan bahwa ketegangan masih bisa muncul dari permasalahan masa lalu.
Hari ini, kedua negara terus berupaya membangun hubungan yang lebih positif dan konstruktif, dengan berbagai kerjasama di bidang ekonomi dan politik. Meskipun bayang-bayang sejarah tetap ada, langkah ke depan kini lebih terarah untuk menciptakan kestabilan dan perdamaian.











