Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) baru saja menggagas sebuah institut baru yang bertujuan untuk mempromosikan nilai-nilai persaudaraan kemanusiaan lintas agama dan budaya. Peluncuran Indonesian Institute for Human Fraternity ini adalah bagian dari upaya untuk memperkuat pengaruh Islam Indonesia di dunia internasional.
Pendirian institut ini dilatarbelakangi oleh pengalaman panjang Indonesia dalam menjaga kerukunan antar umat beragama dan etnis. Rektor UIII, Prof. Jamhari Makruf, menekankan bahwa Indonesia memiliki contoh yang sangat baik dalam hidup berdampingan secara damai antara berbagai kelompok masyarakat.
Dalam sebuah konferensi internasional yang dilaksanakan di Jakarta, ia mengatakan, “Institusi ini diharapkan menjadi sinergi yang memperkuat persaudaraan antarmanusia.” Upaya ini juga diharapkan dapat menjadi model bagi negara-negara lain guna mengembangkan harmoni di masyarakat.
Inisiatif Baru untuk Memperkuat Hubungan Antaragama
Indonesian Institute for Human Fraternity berkomitmen untuk melakukan berbagai program strategis. Rencananya, mereka akan menjalankan penelitian yang mendalami bagaimana kehidupan berdampingan antara individu dengan latar belakang yang berbeda bisa terwujud dengan baik.
Jamhari menegaskan bahwa salah satu fokus institut ini adalah menciptakan kurikulum pendidikan yang tidak hanya menjelaskan tentang kemanusiaan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai ini sejak usia dini. Hal ini penting untuk membentuk generasi yang sadar akan perbedaan dan menghargai satu sama lain.
Institut ini juga akan berperan dalam memberikan pelatihan bagi pendidik untuk menyebarluaskan nilai-nilai kemanusiaan di lingkungan sekolah. Dengan langkah ini, UIII berharap bisa memperluas jangkauan pendidikan toleransi dan kerukunan di masyarakat.
Mendukung Kemajuan Melalui Kolaborasi Internasional
Peluncuran institut ini juga menandai kerja sama strategis antara UIII dan High Committee for Human Fraternity. Sekretaris Jenderal HCHF, Khalid Al-Ghaith, menegaskan pentingnya kolaborasi ini untuk mempromosikan persaudaraan global melalui media akademik dan teknologi.
Khalid merasa optimis bahwa Indonesia, dengan tradisi Islam yang inklusif, dapat menjadi mitra penting dalam pengembangan institut ini. Ia berharap bahwa kerjasama ini akan memungkinkan untuk memfasilitasi penelitian mendalam serta penerbitan jurnal yang menjadi rujukan dalam studi terkait kemanusiaan.
Dia juga menyampaikan bahwa selain pendidikan, perhatian khusus akan diberikan pada isu-isu etika yang berkaitan dengan kecerdasan buatan (AI). Hal ini menunjukkan bahwa institut ini tidak hanya fokus pada pendidikan konvensional, tetapi juga adanya adaptasi terhadap perkembangan teknologi.
Pendidikan sebagai Pilar dalam Masyarakat
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan memberikan apresiasi terhadap inisiatif ini. Ia menyatakan bahwa tradisi toleransi di Indonesia sudah terbukti melalui berbagai jenis lembaga pendidikan keagamaan yang bersifat inklusif.
Praktik pendidikan yang terbuka bagi semua kalangan, baik itu berdasarkan keyakinan maupun etnis, merupakan cerminan dari komitmen untuk menciptakan harmoni dalam masyarakat. Dengan contoh konkret ini, Indonesia dapat dijadikan model untuk negara lain yang ingin menerapkan nilai-nilai serupa.
Pratikno menekankan bahwa teknologi, termasuk AI, harus digunakan untuk menyebarkan perdamaian, bukan kebencian. Ia yakin bahwa dengan pemanfaatan yang tepat, teknologi dapat menjadi alat untuk memperkuat persaudaraan antar umat manusia di seluruh dunia.