Penyakit tuberkulosis (TBC) merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang terus menghantui banyak negara, termasuk Indonesia. Dalam lima bulan pertama tahun 2025, jumlah kasus TBC di Indonesia mencatat angka yang mengkhawatirkan, mencapai 81.864 kasus, dari estimasi total 234 ribu kasus di daerah Jawa Barat.
Wakil Menteri Kesehatan, Benjamin Paulus Oktavianus, menegaskan perlunya upaya lebih untuk menanggulangi peningkatan kasus ini. Dia memaparkan bahwa berbagai langkah harus diambil guna memberantas penyakit TBC yang semakin menyebar, khususnya di Jawa Barat.
Urgensi Penanganan Kasus TBC di Indonesia
Peningkatan kasus TBC di Indonesia adalah sinyal bahaya yang harus ditangani dengan serius. Selain mengganggu kesehatan masyarakat, penyebaran penyakit ini juga dapat mempengaruhi produktivitas dan ekonomi daerah yang terdampak.
Oktavianus mengungkapkan bahwa penemuan kasus secara aktif (Active Case Finding/ACF) menjadi salah satu langkah penting dalam mengatasi masalah ini. Setelah menemukan kasus, penggunaan teknologi medis seperti mobile X-ray dan teknik diagnostik cepat (TCM) harus diperluas.
Lebih jauh, upaya penanganan stigma terhadap TBC dan penyakit menular lainnya menjadi isu penting dalam upaya penanggulangan. Stigma dapat menghalangi pasien untuk mendapatkan pengobatan yang mereka butuhkan dalam waktu yang tepat.
Data menunjukkan bahwa pengobatan TBC di Jawa Barat masih jauh dari target nasional. Dengan hanya mencapai 80 persen dari target terapi untuk TBC sensitif obat, tantangan ini harus ditangani secepatnya.
Kasus TBC yang resisten obat juga menjadi perhatian serius. Hanya 1.063 dari 2.866 kasus yang berhasil ditangani, mencerminkan adanya kebutuhan mendesak untuk memperbaiki sistem penanganan.
Dampak Komorbid Terhadap Penderita TBC
Kondisi penderita TBC semakin rumit ketika mereka memiliki komorbid, seperti diabetes mellitus (DM) dan infeksi HIV. Tidak jarang, penyakit-penyakit ini saling berinteraksi, memperburuk kondisi pasien secara keseluruhan.
Di Jawa Barat, terdapat sekitar 4.763 pasien TBC yang juga mengalami diabetes, serta 1.165 pasien dengan HIV. Data ini memberikan gambaran lengkap tentang kompleksitas tantangan yang dihadapi oleh sistem kesehatan.
Angka kematian yang menyentuh 2.294 jiwa mencerminkan urgensi penanganan yang lebih baik. Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama untuk mengurangi angka kematian ini melalui edukasi dan peningkatan akses layanan kesehatan.
Pentingnya layanan skrining yang lebih baik juga menjadi sorotan para ahli. Skrining dapat membantu mendeteksi TBC lebih awal, sehingga peluang untuk pengobatan yang efektif semakin besar.
Kesadaran masyarakat terkait pentingnya pemeriksaan kesehatan harus ditingkatkan. Dengan mengedukasi masyarakat tentang bahaya dan gejala TBC, diharapkan mereka lebih proaktif dalam mencari pengobatan.
Peran Pemerintah dan Masyarakat dalam Mengatasi TBC
Pemerintah daerah, khususnya di Jawa Barat, mulai mengambil langkah proaktif demi menangani masalah ini. Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, mengumumkan rencananya untuk merilis pernyataan resmi yang mengajak masyarakat berperan aktif dalam penanggulangan TBC.
Inisiatif ini bertujuan untuk meningkatkan kewaspadaan dan mendorong masyarakat memanfaatkan layanan skrining untuk mendeteksi TBC lebih dini. Keterlibatan masyarakat sangat penting agar program-program kesehatan dapat berjalan dengan efektif.
Keterlibatan aktif dan kolaborasi antara pemerintah, lembaga kesehatan, hingga masyarakat dapat menciptakan sinergi yang kuat. Dengan ini, langkah-langkah pencegahan dan pengobatan TBC diharapkan dapat lebih efektif dijalankan.
Perlu juga dilakukan kampanye yang menyasar tempat-tempat umum, guna meningkatkan kesadaran tentang penyakit ini. Masalah TBC memerlukan perhatian bersama, agar tidak lagi dijadikan aib atau stigma dalam masyarakat.
Pemerintah juga perlu memfasilitasi akses ke pengobatan yang lebih baik. Pelayanan kesehatan yang optimal akan mengurangi jumlah kasus dan membantu masyarakat dalam mengatasi TBC dengan lebih efisien.











