Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Surabaya mengeluarkan pernyataan kritis terkait tindakan kepolisian yang terkait penyitaan buku sebagai barang bukti dalam kasus demonstrasi riuh di Jawa Timur pada akhir Agustus 2025. Langkah ini dianggap sebagai upaya untuk membungkam kebebasan berpikir, terutama di kalangan generasi muda yang mengagungkan literasi dan pemikiran kritis.
Koordinator KontraS Surabaya, Fatkhul Khoir, menilai bahwa penyitaan buku-buku tersebut tidak hanya merugikan masyarakat yang gemar membaca, tetapi juga menciptakan suasana ketakutan. Dia menggambarkan tindakan ini sebagai bentuk kriminalisasi terhadap mereka yang berani mengemukakan pendapat yang berbeda.
Fatkhul menambahkan bahwa tindakan penyitaan buku-buku tersebut menimbulkan pertanyaan besar tentang landasan hukum yang mendasari. Dalam pandangannya, aksi tersebut mencerminkan ketakutan pemerintah terhadap pemikiran kritis yang muncul dari masyarakat.
Tindakan Kepolisian dan Dampaknya Terhadap Kebebasan Berpendapat
Menyita buku sebagai bukti dalam kasus kriminal menunjukkan adanya ketidakpahaman mengenai hubungan antara literasi dan perilaku individu. Fatkhul menegaskan bahwa tidak ada bukti yang kuat yang mengaitkan buku dengan tindakan radikal atau perilaku kriminal. Pembaca tidak serta merta terpengaruh oleh isi bacaan.
Ia mempertanyakan, “Apa relevansi buku dengan peristiwa? Adakah bukti bahwa membaca membuat seseorang menjadi radikal?” Menurutnya, pertanyaan ini perlu dijawab untuk memahami dampak yang lebih luas dari penyitaan yang dilakukan oleh pihak berwenang.
Tindak lanjut dari penyitaan ini juga menunjukkan adanya pola yang lebih besar. Di beberapa daerah di Jawa Timur, masyarakat sipil ditangkap hanya karena unggahan mereka di media sosial terkait inseiden demonstrasi. Hal ini menyiratkan adanya langkah represif yang lebih menyeluruh terhadap mereka yang menyatakan pendapat.
Implikasi Penyitaan Buku terhadap Kebebasan Akademis dan Literasi
Penyitaan buku juga mengundang perhatian terhadap dampaknya terhadap kebebasan akademis. Kampus-kampus sebagai institusi pendidikan seharusnya menjadi ruang yang aman untuk eksplorasi gagasan. Fatkhul berargumen bahwa tindakan penyitaan adalah serangan langsung terhadap intelektualitas dan dialektika yang seharusnya dikembangkan di dunia pendidikan.
Masalah ini berimplikasi lebih jauh terhadap minat baca dan literasi di kalangan generasi muda. Ketika buku-buku yang menyangkut pemikiran kritis diperlakukan sebagai barang bukti dalam kasus kriminal, ada risiko bahwa generasi berikutnya akan ragu untuk membaca atau mendiskusikan isu-isu yang dianggap sensitif.
Ketakutan akan represifitas ini dapat membuat lingkungan yang menekan eksplorasi ide-ide baru, yang seharusnya menjadi ciri khas dari pendidikan yang baik. Oleh karena itu, penting untuk mempertahankan kebebasan akademis dengan menolak segala bentuk pengekangan yang tidak beralasan.
Peran Buku dalam Pembentukan Pola Pikir Individu dan Sosial
Buku memiliki peranan penting dalam pengembangan pola pikir individu. Banyak pemikir besar, sepanjang sejarah, menyebarkan ide-ide mereka melalui tulisan. Oleh karenanya, setiap upaya untuk menyita atau melarang akses terhadap buku adalah langkah mundur dalam perkembangan sosial.
Fatkhul menambahkan, “Kalau buku yang berisi pemikiran kritis saja sudah menjadi sasaran, apa yang akan terjadi pada tulisan-tulisan lebih mainstream atau tidak mengganggu?” Pertanyaan ini membuka wacana lebih dalam terkait kontrol terhadap informasi dan pengetahuan masyarakat.
Penyitaan ini tidak hanya berlaku untuk buku tertentu, tetapi juga memberikan sinyal kepada penulis dan cendekiawan agar lebih berhati-hati dalam menyampaikan gagasan. Lingkungan yang represif akan membatasi kebebasan berekspresi dan pada gilirannya berdampak negatif pada inovasi dan kreativitas di dalam masyarakat.










