Kasus pencemaran radioaktif yang terjadi di Kawasan Industri Modern Cikande, Banten, baru-baru ini menjadi perhatian banyak pihak. Sembilan orang dilaporkan terpapar radiasi, dan informasi tersebut disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan dalam sebuah konferensi pers.
Dalam pemeriksaan terhadap lebih dari seribu pekerja dan masyarakat di sekitar area tersebut, hanya ditemukan sembilan orang yang terpapar. Meskipun tidak menimbulkan dampak serius bagi mayoritas, perhatian tetap diperlukan untuk menjelaskan dan menangani kasus ini secara menyeluruh.
Paparan radiasi bukanlah isu baru di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa ada peristiwa dramatis yang melibatkan warga Indonesia yang terpapar radiasi, yaitu saat bom atom dijatuhkan di Hiroshima pada tahun 1945, di mana Syarif Adil Sagala, Arifin Bey, dan Hassan Rahaya menjadi korban.
Paparan Radiasi di Hiroshima dan Korban Tercatat
Ketiga mahasiswa tersebut sedang menempuh pendidikan di Universitas Waseda, Tokyo, melalui program beasiswa yang diperkenalkan oleh pemerintah Jepang. Dalam upaya menarik simpati pemuda Indonesia, beasiswa ini bertujuan agar mereka belajar di Jepang dan membawa pengetahuan kembali ke tanah air.
Namun, nasib buruk menghampiri mereka ketika Amerika Serikat menjatuhkan bom atom di Hiroshima. Saat serangan terjadi, ketiganya berada di kelas dan mengalami pengalaman yang mengerikan saat ledakan terjadi.
Salah satu dari mereka, Sagala, menggambarkan suasana mencekam saat suara ledakan terdengar dan sinar menyilaukan menyapu ruang kelas. Pengalaman ini mengubah hidup mereka selamanya.
Akibat Ledakan dan Proses Penyembuhan yang Menyakitkan
Setelah ledakan, sekitar 120 ribu orang tewas seketika, dan mereka yang selamat, termasuk tiga mahasiswa Indonesia tersebut, dibawa ke Tokyo untuk perawatan. Namun, saat tiba di ibukota Jepang, mereka mengalami luka yang parah akibat radiasi yang tinggi.
Pemeriksaan medis menunjukkan bahwa jumlah sel darah putih mereka turun drastis, mengindikasikan paparan radiasi yang berbahaya. Di bulan-bulan berikutnya, kesehatan mereka terus menurun dengan keprihatinan yang luar biasa.
Para dokter menyatakan bahwa kondisi Sagala dan Arifin sangat kritis, bahkan ada kemungkinan kecil untuk bertahan hidup. Mereka diminta untuk menandatangani pernyataan yang menyatakan tidak akan menuntut jika terjadi sesuatu yang fatal.
Keajaiban dan Harapan Setelah Masa Krisis
Namun, di tengah keputusasaan, keajaiban terjadi. Setelah satu minggu dalam keadaan kritis, ketiga mahasiswa ini berhasil bertahan. Dukungan medis terus diberikan dan mereka berada di bawah pemantauan ketat tim medis Jepang selama lima tahun ke depan.
Akhirnya, mereka diizinkan untuk kembali ke Indonesia. Kembalinya mereka bukan hanya sekadar pulang, tetapi merupakan simbol harapan bagi banyak orang. Cerita hidup mereka menjadi inspirasi bagi generasi berikutnya.
Setelah kembali, kehidupan mereka berjalan dengan arah masing-masing. Syarif Adil Sagala dan Hassan Rahaya memilih untuk membangun bisnis, sedangkan Arifin Bey meniti karier di dunia diplomasi, membawa bekal pengalaman dan pengetahuan dari Jepang.










