Baru-baru ini, sebuah video yang menunjukkan para santri berpartisipasi dalam pengecoran gedung di sebuah pondok pesantren telah mencuri perhatian di media sosial. Video tersebut diambil di Pondok Pesantren di Kediri, Jawa Timur, dan menarik berbagai tanggapan dari masyarakat setempat.
Reaksi beragam muncul, terutama setelah insiden tragis yang terjadi di Pondok Pesantren Al Khoziny, Sidoarjo, di mana sebuah gedung ambruk dan menimpa santri-santri saat salat. Kejadian tersebut membuat masyarakat semakin menyoroti peran santri dalam kegiatan pembangunan di pesantren.
Peran Santri dalam Pembangunan Pesantren: Sebuah Tradisi
Salah satu pengasuh pondok pesantren Lirboyo, KH Oing Abdul Muid, menjelaskan bahwa keterlibatan santri dalam proyek pembangunan bukanlah hal yang baru. Menurutnya, kegiatan ini adalah bagian dari pengamalan ajaran Islam, di mana setiap kontribusi dianggap sebagai amal jariyah.
Gus Muid menekankan bahwa di banyak pesantren, terutama di Lirboyo, partisipasi santri dalam pembangunan gedung merupakan tradisi yang telah ada sejak lama. Ini bukan hanya sekadar pekerjaan, tetapi juga merupakan bagian dari proses pendidikan dan pembelajaran bagi para santri.
Dalam konteks ini, amal jariyah berarti perbuatan baik yang memberikan manfaat dan pahalanya terus mengalir, bahkan setelah orang tersebut meninggal. Oleh karena itu, santri yang terlibat dalam proyek pembangunan melihatnya sebagai kesempatan untuk mendapatkan pahala.
Membantu dengan Ikhlas: Motivasi di Balik Keterlibatan Santri
Gus Muid menjelaskan bahwa santri yang terlibat dalam pengecoran gedung tersebut melakukannya dengan kemauan sendiri. Ini menjadi contoh nyata dari semangat gotong royong yang mengakar dalam tradisi masyarakat pesantren.
Selain itu, partisipasi santri dalam pembangunan gedung bukanlah hasil dari instruksi pemimpin pondok, melainkan inisiatif pribadi. Hal ini menunjukkan bahwa mereka memiliki rasa tanggung jawab dan keinginan untuk berkontribusi.
Sementara itu, Gus Muid juga menegaskan bahwa pekerjaan pembangunan tidak sepenuhnya dilakukan oleh santri. Mereka biasanya membantu tukang profesional yang sudah berpengalaman di bidangnya, dan keterlibatan santri lebih bersifat situasional.
Keselamatan dan Edukasi: Belajar Dari Pengalaman
Setelah insiden di Pondok Pesantren Al Khoziny, Gus Muid mengaku bahwa keselamatan santri adalah prioritas utama di Lirboyo. Dia menggarisbawahi pentingnya mengedepankan keselamatan, terutama dalam kegiatan konstruksi yang melibatkan banyak orang.
Dalam pandangannya, kejadian tersebut memberikan pelajaran berharga bagi seluruh pesantren. Gus Muid berharap semua pesantren dapat mengambil pelajaran dan meningkatkan standar keselamatan dalam setiap aktivitasnya.
Selain itu, ia ingin mengajak masyarakat untuk memberikan kritikan yang membangun. Dengan perbaikan berkelanjutan, diharapkan keselamatan santri dapat terjaga dengan lebih baik.
Dana dan Kemandirian Pesantren: Mengandalkan Diri Sendiri
Seiring dengan pembicaraan mengenai pembangunan, Gus Muid juga menjelaskan sumber dana yang digunakan untuk proyek tersebut. Dia menekankan bahwa mayoritas dana pembangunan di Lirboyo berasal dari usaha mandiri pesantren, bukan dari bantuan pemerintah.
Melalui kemandirian ini, pesantren dapat menjalankan setiap kegiatan tanpa bergantung pada sumber daya eksternal yang mungkin terbatas. Gus Muid menekankan pentingnya keberlanjutan dan kemandirian dalam pengelolaan pesantren.
Dia berharap masyarakat menyadari bahwa setiap kontribusi dalam pembangunan pesantren berasal dari kerja keras dan gotong royong semua pihak yang terlibat, menjadikannya bagian integral dari tradisi pesantren.











