Ibu Kota Tiongkok, Beijing, baru saja mengalami banjir besar setelah diguyur hujan ekstrem dalam waktu singkat. Curah hujan yang tercatat pada saat itu setara dengan total curah hujan tahunan di wilayah tersebut, mengakibatkan kerugian yang cukup signifikan bagi masyarakat dan infrastruktur kota.
Bencana ini menyebabkan lebih dari 30 orang kehilangan nyawa dan memaksa lebih dari 80.000 orang mengungsi dari rumah mereka. Banyak jalan yang rusak; aliran listrik dan komunikasi di lebih dari 130 desa pun terputus, menambah kesulitan bagi warga yang sudah terdampak.
Sejumlah penerbangan dan layanan kereta api harus ditunda karena badai yang berangsur-angsur memburuk pada Senin tersebut. Para ahli di bidang manajemen bencana menyebut kota ini sebagai “jebakan” hujan, di mana kondisi topografi sangat mempengaruhi dampak banjir.
Penyebab Hujan Ekstrem dan Banjir di Beijing
Menurut laporan setelah terjadinya bencana, wilayah pegunungan utara Beijing, khususnya di dekat Tembok Besar, menjadi lokasi dengan curah hujan tertinggi. Badan berita pemerintah melaporkan bahwa sebanyak 28 orang tewas di distrik Miyun dan dua lainnya di Yanqing, meskipun tidak ada penjelasan rinci mengenai kejadian tersebut.
Hujan mulai turun pada 23 Juli dan mencapai puncaknya pada 28 Juli. Di Miyun, hujan tercatat mencapai 573,5 mm, sebuah angka yang mengkhawatirkan dan disebut-sebut sebagai “sangat merusak” oleh media setempat. Jika dibandingkan, rata-rata curah hujan tahunan di Beijing hanya sekitar 600 mm.
Pada jam-jam kritis, daerah perbukitan Huairou mendapatkan curah hujan hingga 95,3 mm dalam waktu satu jam pada 26 Juli. Menurut Xuebin Zhang, seorang ahli dari University of Victoria, situasi ini sangat sulit ditangani mengingat intensitas curah hujan yang melonjak dalam waktu singkat.
Aspek Geografis yang Memperburuk Banjir
Zhang menjelaskan bahwa kondisi geografis di Beijing, yang dikelilingi pegunungan, berfungsi menjebak udara lembab dan memaksanya untuk naik. Proses ini tentunya memperparah risiko banjir yang sedang terjadi. Ketidakmampuan sistem drainase untuk mengatasi curah hujan yang luar biasa ini tidak dapat diabaikan.
Wilayah utara Tiongkok yang selama ini dikenal dengan iklim kering, dalam beberapa tahun terakhir, mengalami rekor curah hujan. Beberapa ilmuwan mengaitkan fenomena ini dengan pemanasan global yang tengah berlangsung. Hal ini menjadi perhatian serius bagi para ahli yang mengamati perubahan iklim secara global.
Data statistik menunjukkan bahwa pada musim panas 2023, setidaknya 33 nyawa hilang akibat banjir di Beijing. Di kota Xingtai, yang berlokasi di provinsi tetangga Hebei, hujan dalam dua hari mencapai lebih dari 1.000 mm, dua kali lipat dari rata-rata tahunan di daerah tersebut.
Respons dan Tindakan yang Diperlukan untuk Mitigasi Risiko Banjir
Menanggapi bencana ini, pemerintah setempat harus segera mengambil langkah untuk memulihkan keadaan, termasuk memberikan bantuan kepada yang terkena dampak. Langkah-langkah ini diperlukan agar masyarakat bisa segera kembali ke rumah mereka dan melanjutkan kehidupan sehari-hari.
Masalah pemulihan infrastruktur juga sangat penting. Jalan-jalan yang rusak harus segera diperbaiki, dan sistem drainase yang ada perlu dievaluasi supaya tidak terjadi lagi bencana serupa di masa depan. Ini adalah bagian dari mitigasi risiko bencana yang mesti dijadikan prioritas.
Pemerintah Tiongkok, melalui kementerian terkait, diharapkan segera melakukan pembenahan agar kejadian seperti ini tidak terulang. Latihan dan edukasi masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana juga menjadi sangat krusial. Jika pendekatan ini diterapkan secara efektif, maka risiko yang terjadi di kemudian hari bisa diminimalisir.