Wakapolri Komjen Pol Dedi Prasetyo menyampaikan bahwa sebagian besar masalah yang dihadapi oleh kepolisian berakar dari level kewilayahan. Informasi ini terungkap dalam rapat kerja yang diadakan dengan Komisi III DPR RI, yang berlangsung di Jakarta Pusat. Jumlah ini menjadi perhatian penting, mengingat dapat mencerminkan keseluruhan sistem yang beroperasi di bawah kepolisian.
Dalam kesempatan tersebut, Dedi Prasetyo mendalami data yang diperoleh dari survei berbagai sumber. Ia mengungkapkan bahwa 62 persen permasalahan kepolisian terjadi di tingkat wilayah, sedangkan 30 persen berasal dari Mabes Polri. Hal ini menunjukkan perlunya reformasi dan perbaikan di berbagai tingkatan dalam tubuh kepolisian.
Mengidentifikasi Masalah dan Solusi di Lingkungan Kepolisian
Dalam upaya menangani masalah tersebut, Dedi menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi menyeluruh. Analisis lebih lanjut akan dilakukan untuk mengetahui alasan di balik tingginya tingkat masalah yang muncul, terutama pada tingkat kewilayahan. Hal ini penting dilakukan guna mengidentifikasi akar masalah dan mencegahnya terjadi di masa depan.
Sebagai langkah awal, Dedi menekankan pentingnya perbaikan dalam proses perekrutan anggota kepolisian. Ia menggarisbawahi bahwa proses rekrutmen yang baik akan berdampak positif pada kualitas anggota yang dihasilkan.
Kepolisian berencana menggandeng pihak eksternal untuk mengawasi dan memperbaiki proses rekrutmen. Dukungan dari pihak luar ini diharapkan dapat membawa transparansi dan akuntabilitas dalam proses pemilihan calon anggota kepolisian.
Lebih jauh, Dedi juga merinci bagaimana Mabes Polri akan memperluas akses pendidikan dan beasiswa bagi anggotanya. Program ini diharapkan menjangkau berbagai jenjang, memberikan kesempatan kepada Bintara, ASN, hingga perwira untuk meningkatkan kompetensi melalui pendidikan yang lebih tinggi.
Program beasiswa dari LPDP yang sebelumnya hanya tersedia untuk perwira, kini diharapkan dapat menyentuh semua level dalam kepolisian. Dengan demikian, diharapkan ada peningkatan kapasitas dan kapabilitas yang lebih merata di seluruh angkatan polisi.
Kinerja Kapolres dan Kapolsek yang Perlu Dieliminasi
Dedi Prasetyo juga mengungkapkan kekhawatirannya terhadap kinerja sejumlah Kapolsek dan Kapolres yang tidak memenuhi standar. Ia mencatat bahwa sekitar 67 persen dari 4.340 Kapolsek saat ini tergolong ‘underperformed’, yang menunjukkan kurang optimalnya kinerja mereka.
Kekhawatiran ini semakin diperkuat dengan data yang menunjukkan hampir 50 persen Kapolsek diisi oleh perwira yang lulus dari PAG. Situasi ini memerlukan perhatian serius agar pengelolaan di level ini dapat lebih baik dan efektif.
Di samping itu, Dedi juga menyoroti hasil asesmen terhadap 440 Kapolres, di mana 36 di antaranya juga teridentifikasi sebagai ‘underperformed’. Menanggapi hal ini, perbaikan perlu segera dilakukan untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan.
Permasalahan yang terjadi di Direktorat Reserse Kriminal juga menjadi sorotan. Dari total 47 Dit Reskrim, 15 di antaranya ditemukan dalam kondisi yang tidak memuaskan. Ada kebutuhan mendesak untuk melakukan evaluasi dan reformasi guna memperbaiki image institusi kepolisian.
Reformasi dalam kepolisian bukanlah hal baru, tetapi saat ini meningkat seiring dengan tuntutan masyarakat akan transparansi dan akuntabilitas yang lebih baik. Perubahan yang signifikan diperlukan agar kepercayaan publik terhadap kepolisian dapat terbangun kembali.
Transformasi dan Reformasi Polri sebagai Respons Terhadap Ancaman
Reformasi Polri semakin mendesak setelah gelombang demonstrasi yang terjadi pada Agustus 2025. Kejadian-kejadian yang melibatkan kekerasan di lapangan telah mengingatkan semua pihak tentang pentingnya akuntabilitas dalam tindakan polisi. Kecelakaan tragis yang terjadi, melibatkan kendaraan taktis, menambah panjang daftar masalah yang dihadapi kepolisian.
Respons pemerintah dalam hal ini terlihat melalui pembentukan tim transformasi reformasi Polri yang dipimpin oleh Komjen Pol Chryshnanda Dwilaksana. Tim ini bertujuan untuk mempelajari dan menyusun langkah-langkah perbaikan yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme polisi.
Pemerintah juga membentuk Komisi Percepatan Reformasi Polri yang melibatkan tokoh-tokoh terkemuka. Langkah ini diharapkan bisa mendalami lebih jauh masalah-masalah dalam institusi kepolisian dan merumuskan solusi yang tepat.
Tim ini melibatkan mantan Kapolri dan tokoh berpengaruh lainnya, mengindikasikan keseriusan pemerintah dalam melakukan perbaikan. Semua upaya ini dimaksudkan untuk menciptakan lembaga polisi yang lebih transparan, akuntabel, dan terpercaya di mata masyarakat.
Transformasi ini diharapkan bukan hanya sekadar perubahan struktural, tetapi juga mencakup pembaruan dalam budaya kerja dan pola pikir anggota kepolisian. Hasilnya, masyarakat bisa merasakan kehadiran polisi sebagai pelindung dan pengayom yang sesungguhnya.











