Jakarta selalu diwarnai oleh tokoh-tokoh sejarah yang berpengaruh, dan salah satunya adalah Soeharto. Julukan “Bapak Pembangunan” yang melekat padanya menciptakan gambaran positif tentang kiprahnya dalam membangun Indonesia melalui berbagai program pembangunan yang berkelanjutan.
Namun, di balik sebutan tersebut, terdapat kisah yang kompleks dan kontroversial. Banyak yang tidak mengetahui bahwa gelar itu sebenarnya merupakan bagian dari strategi intelijen untuk mendorong Soeharto mundur dari kekuasaan, terutama menjelang akhir masa pemerintahannya.
Pada awal 1980-an, isu mengenai lama masa kepemimpinan Soeharto mulai mengemuka. Bersama dengan rekan-rekan intelijen dan Menteri Penerangan, para pengamat politik menilai bahwa suatu saat perlu ada regenerasi kepemimpinan di Indonesia.
Strategi Cerdas di Balik Pemberian Gelar “Bapak Pembangunan”
Dalam autobiografinya, seorang tokoh intelijen, Yoga Sugomo, mengungkapkan bahwa ide pemberian gelar “Bapak Pembangunan” adalah tujuan strategis. Dalam pandangan mereka, gelar itu akan menjadi sinyal halus bagi Soeharto bahwa sudah saatnya untuk mundur dengan kepala tegak.
Yoga dan rekannya, Ali Moertopo, merumuskan rencana ini dengan penuh hati-hati. Mereka menyadari bahwa meminta Soeharto berhenti secara langsung dapat dianggap sebagai pembangkangan, maka dibutuhkan pendekatan yang lebih halus.
Rencana ini diupayakan sudah matang dan mulai dijalankan pada tahun 1981, bersamaan dengan Festival Film Indonesia (FFI). Publik saat itu disuguhkan dengan spanduk yang menampilkan wajah Soeharto beserta tulisan yang menyertainya.
Penerimaan Publik dan Implikasi dari Gelar yang Diberikan
Media massa segera mengadopsi gelar tersebut, memberikan legitimasi tambahan kepada pemberian gelar itu. Dalam hal ini, Ali Moertopo berargumen bahwa pembangunan yang terjadi di Indonesia sudah sangat pesat. Ia menekankan betapa berbeda kondisi Indonesia saat ini dibandingkan dengan era sebelumnya.
Dari sudut pandang politis, menciptakan citra positif melalui gelar ini adalah langkah yang cerdas. Sayangnya, rencana Yoga dan Ali tidak berjalan sesuai yang diharapkan, karena Soeharto justru menggunakan gelar tersebut untuk memperkuat posisinya.
Para anggota MPR pun meratifikasi gelar “Bapak Pembangunan” secara resmi, yang semakin memperkuat legitimasi kekuasaan Soeharto. Pada titik ini, kekuasaan Soeharto menjadi begitu solid bahwa banyak yang berusaha mendekatinya demi kepentingan pribadi.
Kekuatan dan Ketahanan Kekuasaan Soeharto dalam Jangka Panjang
Gelar “Bapak Pembangunan” yang dimiliki Soeharto berfungsi sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaannya selama bertahun-tahun. MPR melalui TAP MPR RI Nomor V/MPR/1983 memberi pengakuan formal yang menjadi puncak dari kekuatan politik Soeharto.
Selama lima belas tahun ke depan, Soeharto berhasil mempertahankan kekuasaan. Ia menjabat dalam tujuh periode pemilihan, meskipun pada akhirnya, ia terpaksa mundur di tengah jalan pada tahun 1998.
Seiring berjalannya waktu, banyak pihak yang menyadari bahwa efek dari pemberian gelar tersebut dapat berimplikasi jangka panjang terhadap politik nasional. Banyak ketidakpuasan muncul dari masyarakat, menuntut perubahan yang lebih nyata.
Dengan analisa lebih mendalam terhadap perjalanan Soeharto sebagai “Bapak Pembangunan,” kita dapat melihat bagaimana citra dan persepsi memainkan peran yang signifikan dalam konteks politik. Pada akhirnya, sejarah mencatat bahwa di balik keberhasilan pembangunan yang diakui, tersimpan banyak dinamika yang lebih kompleks dan sering kali sulit untuk dipahami sepenuhnya.











