Sejak tahun 1965, hubungan antara Amerika Serikat dan Indonesia telah menjadi sorotan seiring dengan peristiwa-peristiwa bersejarah yang melibatkan kedua negara. Salah satu momen penting dalam sejarah diplomatik ini adalah ketika duta besar AS, Marshall Green, menghadapi tantangan yang cukup unik dan mengesankan selama masa jabatannya di Jakarta.
Marshall Green ditunjuk sebagai duta besar pada bulan Juli 1965 dan segera merasakan gejolak politik yang sedang berlangsung di Indonesia, di mana pemerintah Soekarno memiliki pandangan yang skeptis terhadap Amerika Serikat. Hal ini menyebabkan Green harus berhadapan langsung dengan berbagai tantangan, termasuk sikap Presiden Soekarno yang cukup mencolok.
Green dikenal dengan reputasi yang tidak terlalu baik di beberapa negara tempat ia bertugas. Dikenal sebagai seorang diplomat yang terlibat dalam penggulingan pemimpin-pemimpin negara lain, kehadirannya di Indonesia menimbulkan perasaan ketidaknyamanan bagi Soekarno.
Soekarno secara terbuka menunjukkan ketidakpuasannya terhadap kebijakan luar negeri AS, yang dianggapnya penuh dengan syarat dan manipulasi. Dalam pidato penyambutan Green di Istana Negara, Soekarno terang-terangan mengecam kebijakan tersebut. Hal ini jelas menunjukkan bahwa hubungan bilateral tidak berjalan mulus bahkan sebelum Green berinteraksi dengan berbagai pihak lainnya.
Peristiwa Menarik Dalam Pertemuan Diplomatik
Kejadian paling terkenal terjadi saat Green diundang untuk menghadiri peletakan batu pertama Universitas Indonesia di Ciputat pada 28 September 1965. Di tengah acara, Soekarno mengejutkan Green dengan membawakan durian dan menyuruhnya untuk mencicipinya. Durian, yang terkenal dengan aroma tajamnya, merupakan buah yang tidak disukai oleh kebanyakan orang barat termasuk Green.
Jujur saja, tindakan Soekarno sengaja mengundang ketegangan. Di tengah teriakan paduan suara yang mendesaknya untuk makan durian, Green akhirnya cenderung termakan suasana dan mau tak mau merasakan buah tersebut, meskipun dengan penuh tekanan.
Selain durian, ada peristiwa lain yang menjadi momok bagi Green saat ia diundang ke Pelabuhan Ratu. Tempat ini dikenal dengan mitos Nyi Roro Kidul, sang ratu laut, yang dipercaya memiliki kekuatan supranatural. Mitos ini bahkan menjadikan Green semakin waspada dan merasa terancam, terutama saat mendengar cerita tentang pejabat tinggi lainnya yang mengalami nasib buruk di sana.
Kecenderungan Green untuk menghindari Pantai Selatan Jawa menunjukkan betapa kuatnya mitos yang mengelilingi tempat tersebut. Meski kesan sebagai seorang diplomat harus tampak berani dan optimis, ketakutan semacam itu sebenarnya dapat mengganggu konsentrasi dan strategi diplomasi yang tengah dijalankannya.
Perubahan dalam Dinamika Politik Di Indonesia
Selama bertugas di Indonesia, Green menjadi saksi langsung dari kejatuhan Soekarno dan kebangkitan Soeharto sebagai presiden yang baru. Perubahan ini tidak hanya menandai transisi kepemimpinan, tetapi juga menjadi babak baru dalam hubungan Indonesia dan Amerika Serikat. Green berada di tengah-tengah pergeseran yang sangat penting ini dan memiliki pandangan yang unik terhadap peristiwa tersebut.
Reputasi Green yang menyertai setiap penugasan diplomatik menjadikannya sebagai sosok yang selalu berada di garis depan setiap peristiwa besar. Keberadaan Green di Indonesia menjadi contoh nyata bagaimana hubungan internasional dapat dipengaruhi oleh sosok-sosok dalam pos diplomatik.
Pada masa jabatannya, Green merasakan bagaimana situasi dalam negeri dapat bergejolak secara mendalam, dan sebagai diplomat, ia berupaya keras untuk menjaga hubungan bilateral tetap kokoh meskipun ada banyak tantangan. Hal ini menunjukkan betapa rumitnya dunia diplomasi dan bagaimana keputusan bisa berimplikasi pada hubungan antarnegara.
Berulang kali, Green harus memainkan perannya dengan hati-hati. Dalam konteks situasi yang semakin kompleks di Indonesia, ia harus tetap bersikap profesional dan tidak membiarkan perasaan pribadinya mempengaruhi diplomasi resmi. Ini adalah tantangan besar bagi seorang diplomat yang harus menjaga wibawa dan reputasi negaranya.
Warisan Diplomasi dan Pelajaran bagi Generasi Mendatang
Marshall Green dikenang tidak hanya sebagai duta besar, tetapi juga sebagai saksi sejarah yang memiliki pengalaman langsung atas perubahan penting di Indonesia. Melalui pengalamannya, banyak pelajaran tersimpan mengenai bagaimana hubungan diplomatik dapat menjadi sangat dinamis dan penuh tantangan.
Pelajaran yang dapat diambil oleh generasi mendatang adalah pentingnya pemahaman budaya dan sensitivitas terhadap mitos dan tradisi lokal saat berinteraksi dengan negara lain. Diplomasi bukan hanya sekadar urusan politik, tetapi juga melibatkan aspek-aspek sosial dan budaya yang dapat mempengaruhi hubungan antara negara.
Dalam mempelajari sejarah diplomasi seperti yang dijalani oleh Green, kita diingatkan akan pentingnya pengertian, empati, dan komunitas dalam membangun hubungan luar negeri yang positif. Melalui cara berpikir kritis yang terbuka, negara dapat berkolaborasi secara lebih efektif dan harmonis.
Pengalaman Green di Indonesia menjadi batu loncatan untuk mengeksplorasi bagaimana konteks historis dapat mempengaruhi politik internasional. Forexample, kehadiran dan tindakan diplomatik pun akan berbicara banyak tentang karakter dan tradisi dari negara-negara yang terlibat.