Ketegangan dalam konteks progres demokrasi di Indonesia semakin terasa belakangan ini. Terlebih lagi, penolakan hakim terhadap permohonan praperadilan yang diajukan oleh aktivis menjadi sorotan utama yang memicu beragam spekulasi.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) menyatakan kekecewaannya saat putusan hakim menolak praperadilan yang dimohonkan oleh Direktur Lokataru Foundation dan beberapa aktivis lainnya. Ini menandakan tantangan yang dihadapi oleh kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintahan.
Saat ditemui setelah sidang, kuasa hukum TAUD, Al Ayyubi Harahap, menyampaikan rasa kecewa yang mendalam terhadap keputusan tersebut. Dia menegaskan bahwa saat ini, ruang bagi kelompok kritis di Indonesia semakin sempit dan terpinggirkan.
Penolakan Praperadilan dan Implikasinya bagi Aktivis
Pada hari Senin, 27 Oktober, hakim tunggal di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Sulistiyanto Rochmad Budiharto, menolak permohonan praperadilan yang diajukan oleh para aktivis. Delpedro Marhaen dan tiga tersangka lainnya kini dihadapkan pada proses hukum yang lebih ketat.
Ayyubi menyebutkan bahwa Delpedro dan rekan-rekannya dianggap sebagai tahanan politik. Mereka dituduh sebagai pihak yang bertanggung jawab atas kericuhan yang terjadi pada demonstrasi Agustus lalu, sebuah keadaan yang menurutnya tidak adil.
Dalam pandangannya, situasi ini menunjukkan bahwa ada upaya yang sistematis untuk menekan gerakan pro-demokrasi di tanah air. Aktivis yang selalu mengawasi kebijakan pemerintah kini terancam kehilangan kebebasan untuk bersuara.
Alasan di Balik Penolakan Hakim
Ayyubi menilai bahwa keputusan hakim tidak mempertimbangkan aspek-aspek penting yang seharusnya dijadikan alasan dalam mengambil keputusan. Di antaranya adalah ketentuan yang ada dalam putusan Mahkamah Konstitusi yang berkaitan dengan proses pengumpulan bukti.
Menurutnya, hakim hanya fokus pada dua alat bukti yang harus dipenuhi, sementara aspek pemeriksaan saksi diabaikan. Hal ini sangat krusial, mengingat tidak ada pemeriksaan saksi yang dilakukan terhadap para tersangka.
Ketidakadilan ini, kata Ayyubi, menunjukkan betapa lemahnya perlindungan hukum bagi para aktivis di Indonesia. Dia berharap luka yang dialami oleh Delpedro dan rekan-rekannya tidak berujung pada situasi yang lebih buruk bagi gerakan demokrasi di negeri ini.
Tantangan bagi Gerakan Pro-Demokrasi di Indonesia
Banyak aktivis yang kini merasa tertekan dengan kebijakan penegakan hukum yang cenderung pilih kasih. Menurut Ayyubi, penolakan praperadilan ini mencerminkan ketidakberdayaan mereka dalam menghadapi kekuatan pemerintahan.
Di tengah semua ini, tantangan terbesar adalah tetap berdiri teguh dalam prinsip demokrasi. Aktivis perlu memastikan bahwa suara mereka tetap didengar, meskipun dalam kondisi yang sulit.
Ayyubi mengatakan bahwa tindakan hukum terhadap Delpedro dan kawan-kawan tidak hanya menargetkan individu, tetapi juga berimplikasi pada masa depan demokrasi dan hak asasi manusia di Indonesia.











