Satu hal yang membuat saya terkesan setelah menonton film terbaru dari Thailand adalah komitmen yang kuat terhadap budaya lokal. Hal ini terlihat jelas dalam “Tha Rae: The Exorcist,” di mana sutradara dan penulis berkolaborasi untuk membawa elemen budaya Thailand ke dalam cerita eksorsisme Katolik yang telah banyak dikenal melalui film-film sebelumnya.
Film ini tidak hanya menggambarkan pengusiran setan, tetapi juga berupaya mengintegrasikan konteks sosial yang lebih luas, seperti generasi digital di Thailand. Dengan pendekatan ini, penonton dapat melihat gambaran hidup yang beraneka ragam dari masyarakat Thailand yang dipadukan dengan narasi horor yang akrab.
Pola cerita film eksorsisme Katolik umumnya mengikuti formula yang telah ada sejak lama, dan “Tha Rae: The Exorcist” pun tidak terkecuali. Meski demikian, film ini berusaha untuk memberikan sentuhan baru dengan cara menggabungkan elemen lokal yang berbeda dalam skema cerita yang sudah mapan.
Membedah Cerita “Tha Rae: The Exorcist” Secara Mendalam
Seringkali, film-film yang mengangkat tema eksorsisme menciptakan ketegangan dengan cara yang sangat mirip satu sama lain. “Tha Rae: The Exorcist” juga mengikuti pola ini, mulai dari teror yang muncul hingga berbagai upaya untuk mengusir roh jahat. Namun, hal yang membuat film ini berbeda adalah sudut pandang yang diambil oleh penggarapnya.
Sutradara Taweewat Wantha dan tim penulis menghadirkan elemen lokal di dalam film, memberikan nuansa yang segar dari cerita yang sudah dirobohkan banyak produksi lain. Ini adalah langkah yang patut dicatat, terutama dalam konteks film horor yang sering kali terjebak dalam narasi yang sama.
Satu hal yang menarik dalam film ini adalah cara para karakter utamanya diperkenalkan. Dalam pendekatan ini, kita tidak hanya melihat situasi horor, melainkan juga perjalanan emosional karakter yang sangat manusiawi. Karakter harus menghadapi ketakutan mereka sendiri sambil berjuang melawan kekuatan gelap yang mengancam kehidupan mereka.
Sumbangsih Budaya Lokal dalam Elemen Eksorsisme
Penambahan elemen kultural dalam film ini memberikan pengalaman baru bagi penonton, meskipun mungkin ada beberapa tantangan dalam memahami latar belakang budaya tersebut. Misalnya, hasil budaya lokal yang muncul dalam bentuk jenis demon dan tradisi pengusiran sangat berbeda dari yang biasanya ditemui dalam film eksorsisme Barat.
Fokus pada budaya lokal tidak hanya menarik tetapi juga memberikan konteks yang lebih kaya terhadap pengalaman karakter-karakter dalam menghadapi masalah mereka. Dengan menggabungkan elemen ini, film tidak hanya berfungsi sebagai hiburan, tetapi juga bisa menjadi jendela untuk memahami lebih dalam tentang masyarakat Thailand.
Namun, meski usaha ini layak diacungi jempol, tidak dapat dipungkiri bahwa film ini juga memiliki kelemahan. Dalam upaya untuk mengeksplorasi banyak elemen dengan cara yang adil, alur cerita menjadi sedikit rumit dan terkadang tidak efisien.
Kelemahan dan Harapan untuk Sekuel di Masa Depan
Salah satu tantangan yang dihadapi oleh “Tha Rae: The Exorcist” adalah alur cerita yang berbelit-belit. Meskipun strategi jumpscare cukup menghibur, penonton mungkin merasa kehilangan fokus karena komposisi cerita yang tidak teratur. Ketika kita hanya sepenuhnya memahami masalah pada sepertiga akhir film, rasa penantian bisa menjadi kendala tersendiri dalam pengalaman menonton.
Kelemahan lain yang mencuat adalah penempatan iklan yang terasa mengganggu. Meskipun ingin menjaga keberlanjutan film, penempatan unsur promosi yang sangat mencolok justru dapat menciptakan kesan kurang profesional.
Meski “Tha Rae: The Exorcist” memiliki sejumlah kritik dan catatan, saya tetap menyakini bahwa film ini adalah langkah awal yang menjanjikan. Taweewat dan tim memiliki potensi untuk mengembangkan cerita yang lebih baik dalam proyek selanjutnya, mengeksplorasi lebih dalam tentang kekayaan budaya lokal yang mungkin kaya akan potensi horor.











