Gaji yang tinggi bagi pejabat dan petinggi negara seharusnya berkorelasi dengan kinerja yang optimal. Namun, kenyataan di lapangan seringkali tidak mencerminkan harapan tersebut, di mana praktik korupsi dan pengabaian tugas masih marak terjadi.
Ketika kepercayaan publik terhadap pejabat menurun, muncul pertanyaan tentang efektivitas pemberian imbalan besar kepada mereka. Apakah peningkatan gaji benar-benar mampu mengikis perilaku koruptif atau hanya menambah peluang untuk menyalahgunakan kekuasaan?
Salah satu contoh mencolok dari masalah ini dapat dilihat pada sejarah masa lalu, ketika sistem penggajian tinggi diiringi dengan hukuman yang tegas. Kisah J.P.F. Filz pada zaman Hindia Belanda menjadi pelajaran berharga tentang konsekuensi dari kelalaian para pejabat dalam menjalankan tugasnya.
Sejarah Penggajian Tinggi Pejabat di Hindia Belanda
Pada tahun 1808, Herman Willem Daendels, sebagai pemimpin Hindia Belanda, membuat kebijakan signifikan dengan menaikkan gaji pejabat dan birokrat. Daendels berharap dengan langkah tersebut, perilaku korupsi bisa dikendalikan dan kinerja aparat pemerintahan dapat ditingkatkan.
Namun, kenaikan gaji tidak berjalan sendiri. Daendels menerapkan ancaman hukuman yang berat bagi siapa saja yang melanggar kewajiban mereka. Dalam hal ini, langkah-langkah tegas tersebut mendemonstrasikan upaya untuk menciptakan budaya disiplin di kalangan pejabat.
Cerita mengenai korupsi di masa lalu menunjukkan bahwa kesenjangan antara pendapatan dan gaya hidup pejabat seringkali menjadi penyebab utama praktik korupsi. Pada masa VOC, misalnya, masalah tersebut sudah melanda hingga membuat perusahaan dagang terbesar di dunia saat itu bangkrut.
Kebijakan baru ini berpotensi untuk mengurangi korupsi, tetapi tidak menghapuskan risiko perlakuan buruk di antara pejabat. Ineksplorasi atas integritas seseorang tetap menjadi faktor penentu kinerja mereka.
Kasus J.P.F. Filz adalah contoh nyata dari dampak negatif yang muncul saat pejabat gagal memenuhi tanggung jawab mereka. Filz yang mendapat gaji besar malah berakhir dengan hukuman berat karena kelalaiannya dalam menjalankan tugas.
Nasib Malang J.P.F. Filz dan Pelajaran dari Kesalahan
J.P.F. Filz, seorang kolonel yang ditugaskan untuk menjaga Ambon, dituding menyerahkan wilayah strategis tersebut kepada pasukan Inggris. Keputusan tersebut memicu kemarahan Gubernur Jenderal Daendels yang tidak terima dengan pengkhianatan yang dilakukan oleh salah satu pejabatnya.
Filz membeberkan alasannya dalam sebuah surat, mengklaim kekurangan perbekalan dan amunisi untuk bertahan. Namun, argumennya tampak tidak mampu mengubah pandangan pengadilan yang sudah siap menjatuhkan hukuman.
Setelah melalui serangkaian proses hukum, Filz divonis hukuman mati karena dianggap lalai dalam melindungi kepentingan negara. Keputusan ini menunjukkan betapa seriusnya konsekuensi yang harus ditanggung oleh pejabat yang gagal menjalankan tugas.
Eksekusi Filz pada 10 Juni 1810 menjadi titik balik penting dalam memperkuat wibawa pemerintahan. Hal ini mengingatkan kita bahwa kinerja yang buruk tetap harus dipertanggungjawabkan, terlepas dari seberapa besar imbalan yang diterima.
Sejarah mencatat, tindakan tegas terhadap Filz seharusnya menjadi peringatan bagi pejabat di masa kini bahwa mereka dipilih untuk melayani masyarakat dan harus mengedepankan integritas dalam setiap tindakan.
Relevansi Kisah Filz dalam Konteks Kontemporer
Kisah J.P.F. Filz memberikan pelajaran berharga tentang bagaimana gaji tinggi tidak selalu menjamin kinerja baik. Saat ini, berbagai kasus korupsi di pemerintahan menunjukkan bahwa pemberian imbalan yang besar harus disertai dengan mekanisme pengawasan yang ketat.
Masyarakat berhak menuntut pertanggungjawaban dari para pemimpin mereka. Ketika pejabat tidak mampu memenuhi tanggung jawabnya, tidak jarang evaluasi terhadap kinerja mereka menjadi sulit dilakukan.
Dalam konteks ini, komitmen untuk menerapkan reformasi dalam sistem penggajian dan evaluasi kinerja sangat diperlukan. Langkah ini bisa menjadi solusi untuk menciptakan tranparansi dan akuntabilitas yang lebih baik.
Dari kisah Filz, kita bisa menarik kesimpulan bahwa kepercayaan publik terhadap pejabat tidak hanya ditentukan oleh gaji yang tinggi, tetapi juga oleh hasil kerja yang nyata. Oleh karena itu, penting untuk mengedepankan integritas dan profesionalisme.
Sejarah adalah cermin yang dapat membantu kita memahami tantangan dan menginspirasi tindakan yang lebih baik di masa depan. Kita tidak hanya melihat apa yang terjadi pada masa lalu, tetapi juga belajar dari kesalahan yang telah dibuat.